Menuju PLTU Ramah Lingkungan
COGENERATOR :Alat Untuk Mengoptimalkan
Bahan-bakar Pembangkit Konvensional
Prospek Bisnis Jasa Pelatihan Ketenagalistrikan |
|
|
|
Untuk kondisi saat ini, kelihatannya hanya ada dua
pilihan dalam memenuhi kebutuhan energi listrik kita dalam kehidupan sehari-hari.
Kedua pilihan itu adalah listrik murah dengan konsekwensi udara di lingkungan
kita tercemar, atau udara di atmosfer kita bersih tetapi harga listrik
mahal. Sayang sekali untuk waktu dekat ini kelihatannya belum akan
ada pilihan ketiga yang menawarkan listrik dengan harga murah yang proses
pembangkitannya tidak melepaskan polutan ke lingkungan.
Ada berbagai sistim pembangkit listrik yang saat ini beroperasi di
permukaan bumi, seperti Pembagkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) yang menggunakan
bahan bakar fosil seperti minyak bumi dan batubara, atau Pembangkit Listrik
tenaga Air (PLTA) yang memanfaatkan air terjun untuk memutar turbin listrik.
Ada pula sistim pembangkit listrik yang relatif masih baru seperti Pembangkit
Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) yang memanfaatkan bahan bakar nuklir seperti
uranium-235, atau Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) yang mengubah
energi sinar matahari menjadi listrik. Sementara sistim pembangkit yang
lain saat ini sedang dikembangkan, seperti Pembangkit Listrik Tenaga Panas
Bumi, Pembangkit Listrik Tenaga Angin dan Energi Listrik dari Air Pasang.
Dari beberapa sistim pembangkit listrik yang saat ini beroperasi, PLTU
batubara masih merupakan sistim pembangkit paling murah, namun juga dengan
konsekwensi lingkungan yang paling parah. Biaya operasi PLTU batubara kurang
lebih 30 % lebih rendah dibandingkan sistim pembangkit listrik lainnya
yang saat ini operasional. Namun di lain fihak, PLTU batubara juga melepaskan
gas-gas polutan ke udara, seperti gas oksida nitrogen (NOx) dan oksida
sulfur (SOx) dari proses pembakaran batubara. Kedua gas tersebut di udara
akan berubah menjadi asam nitrat dan asam sulfat yang merupakan senyawa
utama penyebab terjadinya hujan asam. Tulisan ini akan mengupas lebih lanjut
dilemma dalam pemenuhan kebutuhan listrik sehari-hari yang disuplai oleh
PLTU batubara. Pembahasannya dikaitkan pula dengan mulai diberlakukannya
Baku Mutu Emisi Baru (BME) di awal milenium tiga ini.
Masalah Hujan Asam
Berbagai dampak negatif, baik terhadap kesehatan maupun lingkungan,
dapat muncul karena terlepasnya gas-gas polutan dari PLTU batubara. Perubahan
NOx menjadi asam nitrat dapat menimbulkan dampak terhadap kesehatan. Nitrat
merupakan unsur yang mudah sekali terbawa air dan masuk ke saluran air,
sungai, air tanah dan akhirnya dikonsumsi oleh manusia. Nitrat yang masuk
ke dalam tubuh akan diubah menjadi nitrit. Selanjutnya nitrit akan masuk
ke dalam darah dan bereaksi dengan haemoglobin sehingga menghasilkan methemoglobin
yang dapat merusak sistim transportasi oksigen di dalam darah.
Organ tubuh yang paling peka terhadap percemaran NOx adalah paru-paru.
Apabila terkontaminasi gas NOx, paru-paru membengkak sehingga penderita
sulit bernafas yang dapat mengakibatkan kematian. Kadar gas NO yang tinggi
dapat menyebabkan gangguan pada sistim saraf yang mengakibatkan kejang-kejang.
Bila keracunan ini terus berlanjut dapat menyebabkan kelumpuhan.
Nitrat yang telah berubah menjadi nitrit dapat juga bereaksi dengan
amina sekunder sehingga menghasilkan nitrosamina. Senyawa ini dapat menimbulkan
kanker, mutasi dan abnormalitas. Dalam dosis tertentu, nitrosamina bahkan
mampu menembus plasenta sehingga menyebabkan tumor pada janin. Dosis 50
ppm (bagian per sejuta) dalam makanan yang diberikan pada binatang percobaan
(tikus) selama 20-40 minggu menyebabkan munculnya tumor ganas pada hati,
sedang dosis 20-40 ppm menyebabkan tumor ganas pada ginyal. Oleh sebab
itu, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dan beberapa negara telah menetapkan
standar kualitas air yang boleh dikonsumsi oleh manusia. Standar tertinggi
kandungan nitratnya adalah 10 ppm nitrat (10 mg per liter air).
Kecurigaan terhadap efek negatif yang ditimbulkan oleh nitrat memang
cukup mempunyai bukti. Di Amerika Serikat sebelum ditemukan lemari es,
pengawetan makanan dilakukan dengan cara menambahkan nitrat ke dalam bahan
makanan yang akan diawetkan. Setelah lemari es ditemukan, penggunaan nitrat
menurun secara drastis. Kasus kanker lambung juga menurun secara drastis.
Namun pada beberapa bagian dunia lain, di mana konsumsi nitratnya masih
tinggi, juga ditemukan kasus kanker lambung yang menonjol.
Udara yang telah tercemar oleh SOx dapat menyebabkan manusia mengalami
gangguan pada sistim pernafasan. Gas SOx menyerang selaput lendir pada
hidung, tenggorokan dan saluran nafas yang lain sampai ke paru-paru. Gas
SOx dapat menmbulkan iritasi pada bagian tubuh yang terkena. Kadar SOx
sebesar 6 ppm sudah cukup untuk menimbulkan iritasi pada manusia. Otot
saluran pernafasan dapat mengalami kejang (spasme) akibat teriritasi oleh
SOx. Jika waktu paparannya cukup lama akan timbul peradangan yang hebat
pada selaput lendir yang diikuti oleh kelumpukan sistim pernafasan (paralisis
cilia), serta kerusakan pada epithelium yang menyebabkan kematian.
Hujan asam juga dapat mengakibatkan kerusakan pada tanaman. Pengaruhnya
antara lain adalah timbulnya bintik-bintik pada permukaan daun. Jika konsentrasi
pencemar cukup tinggi, akan terjadi nekrosis atau kerusakan pada jaringan
daun, sehingga daun tidak dapat berfungsi sempurna menjalankan proses fotosintesa
dan memproduksi karbohidrat, yang berakibat lebih lanjut pada kerusakan
hutan dan pengikisan lapisan tanah yang subur. Hal ini merupakan awal terjadinya
ketandusan lingkungan yang dapat menurunkan daya dukung alam terhadap kelangsungan
hidup manusia.
Asam dalam air hujan menambah kemampuan air itu untuk melarutkan dan
membawa lebih banyak logam-logam berat keluar dari tanah, seperti merkuri
(Hg) dan aluminium (Al). Ini berarti bahwa pada saat hujan asam mencapai
sungai atau danau, air hujan itu membawa lebih banyak pemcemar berbahaya.
Air asam ini juga dapat melarutkan tembaga (Cu) dan timbal (Pb) dari pipa-pipa
logam untuk penyaluran air, yang dapat mengganggu sistim penyediaan air
untuk konsumsi manusia.
Dilemma Baku Mutu Emisi (BME) Baru
Tingginya tingkat pembakaran bahan bakar fosil dewasa ini menyebabkan
sulitnya
melindungi ekosistim dari hujan asam. Di beberapa danau para ilmuwan telah
mencoba mencegah efek hujan asam dengan cara menambahkan kapur. Hal ini
mungkin dapat membantu mengatasi permasalahan sementara, tetapi kapur tampaknya
tidak akan mampu menyelesaikan semua permasalahan. Penyebaran kapur memerlukan
biaya yang sangat mahal dan danau yang harus ditaburi kapur jumlahnya mencapai
ribuan.
Krisis ekologi oleh hujan asam merupakan masalah bersama seluruh penduduk
bumi yang harus dicarikan solusi untuk mengatasinya. Untuk penyelesaian
jangka panjang, salah satu cara yang dapat ditempuh adalah dengan menghentikan
sumber hujan asam tersebut. Namun sumber itu ternyata cukup banyak dan
tersebar luas di berbagai penjuru dunia. Menurunkan tingkat pelepasan NOx
dan SOx dari pusat pembangkit listrik tentu akan memakan biaya yang tidak
kecil dan memerlukan teknolgi pembersih tambahan untuk mengikat gas-gas
tersebut.
Salah satu upaya protektif dari pemerintah untuk melindungi atmosfer
kita adalah mulia diberlakukannya BME baru dari sumber tidak bergerak yang
dituangkan dalam Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. : KEP.13/MENLH/3/1995.
Surat keputusan ini menetapkan dua tahan pemberlakuan BME. Tahap pertama
berlaku tahun 1995-1999 (BME 1995), dan tahap kedua berlaku mulai 1 Januari
2000 (BME 2000). Terjadi penurunan hingga dua kali lebih ketat dalam
nilai BME 2000. Jika batas maksimum (dalam mg/m3) dalam BME 1995 untuk
lepasan total partikel, SO2 dan NO2 berturut-turut adalah 300, 1500 dan
1700, maka pada BME 2000, nilainya turun menjadi 150, 750 dan 850, yang
berarti setengah dari batas semula.
Keputusan menteri Lingkungan Hidup tadi juga mewajibkan kepada setiap
penanggungjawab jenis kegiatan yang melibatkan pembakaran batubara untuk
:
a. Membuat cerobong emisi yang dilengkapi dengan sarana pendukung dan
alat pengaman.
b. Memasang alat ukur pemantau yang meliputi kadar dan laju alir volume
untuk setiap cerobong emisi.
c. Melakukan pencatatan harian hasil emisi yang dikeluarkan dari setiap
cerobong emisi
d. Menyampaikan laporan hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam
huruh (c) kepada Gubernur Kepala daerah dengan tembusan kepada Kepala Badan
Pengendalian Dampak Lingkungan (BAPEDAL) sekurang-kurangnya sekali dalam
tiga bulan
e. Melaporkan kepada Gubernur Kepala Daerah serta Kepala BAPEDAL apabila
ada kejadian tidak normal dan atau dalam keadaan yang mengakibatkan baku
mutu emisi dilampaui.
Dengan mulai diberlakukannya BME 2000 ini, para pengelola PLTU batubara
dihadapkan pada peraturan yang lebih ketat. Mereka harus mengendalikan
emisi pencemar dua kali lebih rendah dibandingkan semula. Dari sudut pandang
teknologi, untuk memenuhi kriteria seperti yang tertuang dalam peraturan
BME baru sebetulnya bukan merupakan masalah besar. Saat ini sudah ada teknologi
yang mampu mengurangi tingkat pelepasan senyawa-senyawa pemcemar yang dikeluarkan
dari pembakaran batubara, salah satunya adalah Flue Gas Desulfurization
(FGD).
Pengadaan teknologi untuk mengendalikan pemcemaran dari PLTU batubara
akan berdampak pada naiknya biaya produksi, dan setiap kenaikan biaya produksi
ini tentu akan dibebankan kepada konsumen. Untuk memasang fasilitas FGD
dibutuhkan tambahan investasi hingga 30 %, dan pengoperasiannya bisa menyebabkan
kenaikan harga listrik hingga 60 % lebih mahal.
Pemberlakuan BME 2000 mau tidak mau memunculkan dilemma pada masyarakat
konsumen listrik. Dilemma itu adalah seperti yang dikemukakan di awal tulisan
ini, yaitu : masyarakat ingin menikmati listrik murah dengan konsekwensi
udara di lingkungannya tercemar, atau menikmati atmosfer yang bersih
dan sehat dengan konsekwensi harga listrik yang dikonsumsinya mahal. Mengingat
tugas pemerintah adalah melayani kepentingan masyarakat, maka keputusan
akhir selayaknya juga diberikan kepada masyarakat untuk memilih.
Dilemma mengandung pengertian dua pilihan yang sama-sama tidak enak.
Satu hal yang perlu ditekankan disini adalah kedewasaan sikap pemerintah
dan masyarakat dalam menentukan pilihan, dan kesiapan semua fihak
untuk menanggung resiko dari pilihan yang telah diambilnya itu. Bisakah
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) kita menjadi fasilitator untuk memutuskan
dua pilihan tersebut ? q
Mukhlis Akhadi Ahli Peneliti Muda di Badan Tenaga Nuklir Nasional,
Jakarta |