Pendapat senagian lagi ada yang menyatakan bahwa perkembangan industri nuklir itu sendiri tidak terlalu terpengaruh oleh adanya kecelakaan ini. Terdapat faktor-faktor lain yang menyebabkan adanya perubahan dalam perkembangan nuklir, seperti pertimbangan ekonomis. Beberapa negara tetap menggantungkan sebagian besar produksi listrik dari reaktor nuklir seperti, Uni Sovyet dan Jepang. Pendapat ini lebih condong kepada pengaruh positif yang didapat dari kecelakaan ini, dan menyatakan bahwa kecelakaan ini justru menandai akan permulaan industri nuklir yang baru dan lebih aman.
Dalam kenyataan tenaga nuklir tidak mungkin dihapuskan dari dunia ini. Sampai suatu saat dunia mempunyai alternatif baru yang lebih ekonomis dan lebih aman, nuklir tetap memegang peranan yang penting. Adanya kecelakaan ini telah menunda perkembangan industri nuklir, tetapi dalam waktu yang bersamaan telah meningkatkan kesadaran untuk lebih menjaga segi keamanan. Dalam jangka panjang dapat dikatakan bahwa kecelakaan ini telah menbawa pengaruh positif terhadap keseluruhan industri nuklir.
Dalam memperbandingkan kedua pilihan ini, perlu diingat bahwa masing-masing berasal dari teknologi yang berbeda, meskipun demikian keduanya menggunakan energi yang dihasilkannya untuk menguapkan air. Selanjutnya uap tersebut digunakan untuk memutar turbin. PLTN merupakan bidang yang cukup baru dibandingkan dengan PLTU. Hal ini perlu ditekankan mengingat Indonesia adalah negara yang sedang berkembang. Selain itu, karena pemakaian bahan-bahan radioaktif untuk PLTN, masalah-masalah yang dihadapi dan faktor-faktor pembentuk hambatan tersebut adalah dua lingkup yang berbeda yang kadang-kadang tidak dapat diperbandingkan secara langsung. Segi-segi polusi, biaya konstruksi, pemeliharaan, bahan bakar dan operasi serta keamanan dan keandalan sistem diambil sebagai pokok- pokok perbandingan dengan harapan masingmasing akan terwakili secara jelas dan menyeluruh.
Dari beberapa sumber yang dipakai untuk makalah ini diperoleh angka yang berbeda-beda untuk biaya rata-rata untuk kedua jenis pembangkit listrik ini, sehingga hanya dapat disimpulkan bahwa pada umumnya, terutama untuk negara-negara maju di Amerika Utara, Eropa Barat dan Asia, PLTN tergolong lebih murah dari PLTU untuk kapasitas listrik yang sama. Untuk negara-negara sedang berkembang yang masih harus mengimpor sebagian besar dari teknologi pembuatan reaktor tersebut, mungkin didapat angka yang berbeda untuk biaya pembuatan sebuah reaktor nuklir, tetapi sulit didapat data yang akurat untuk itu. Maka penulis hanya akan memberikan gambaran tentang angka-angka yang beriaku di negara-negara maju yang telah kami sebut di atas.
Maksud dari istilah biaya disini adalah rata-rata pertahun dari seturuh investasi yang dikeluarkan selama masa laik operasinya. Hanya saja untuk masa-masa mendatang harga sebuah PLTN akan mengalami tingkat kenaikan yang lebih tinggi daripada PLTU, terutama karena terdapatnya biaya de-commissioning (penutupan sebuah lokasi PLTN) yang tinggi. Oleh karena itu pada permulaan abad ke 21 nanti keduanya tidak akan berbeda jauh. Walaupun demikian harga PLTN tetap di bawah PLTU. Satu referensi mengungkapkan bahwa rendahnya harga PLTN tersebut dimungkinkan oleh adanya subsidi dari pemerintah setempat untuk memacu penggunaan teknologi baru ini. Tanpa subsidi tersebut, biaya sebuah PLTN mencapai 30-100% lebih mahal daripada PLTU. Tetapi teknologi maju yang didapat bisa dijadikan justifikasi untuk memilih teknologi tersebut meskipun dengan biaya yang lebih mahal.
Tabel perbandingan biaya pengoperasian pembangkit listrik tenaga nuklir dan batubara untuk beberapa negara maju
Bertentangan dengan anggapan umum, radiasi sinar-sinar radioaktif (selanjutnya akan disebut radiasi) bukanlah sumber utama polusi pada PLTN. Malah terbukti bahwa secara rata-rata untuk seorang yang tinggal sampai 1 km dari sebuah reaktor nuklir, dosis radiasi yang diterimanya dari bahan-bahan yang dipakai di reaktor tersebut adalah kurang dari 10% dari dosis radiasi alam (dari batuan radioaktif alami, sinar kosmis, sinar-sinar radioaktif untuk maksud-maksud medis) .
Kalau untuk tambang-tambang batubara dikenal istilah "black lung", dimana partikel batubara yang terh-irup oleh para pekerja tambang mengendap di paru-paru dan menimbulkan berbagai macam gangguan kesehatan, para pekerja di tambang Uranium (bahan utama untuk bahan bakar PLTN) terutama terkena radiasi dari Carbon 14 (C-14) dan gas Radon yang terpancar dari Uranium alam. Dari data statistik didapat bahwa kedua jenis radiasi ini menelan korban jiwa kurang lebih 1 orang tiap 20 juta MWH listrik yang dihasilkan PLTN per tahun. Tetapi karena kedua unsur tersebut mempunyai waktu paruh yang sangat besar, dampaknya akan terus terasa untuk masa-masa yang akan datang. Salah satu pencegahan adalah dengan menempatkan sisa-sisa Uranium tambang di bawah permukaan tanah dimana radiasinya akan ditahan oleh dinding lapisan penyekat khusus, tetapi karena praktek ini juga dilakukan untuk sisa Uranium yang telah tidak mengandung C-14 dan Radon, pada dasarnya belum ada tindakan khusus yang dicanangkan untuk penangangan bahaya dari kedua unsur ini.
Perlu disimak bahwa masalah radiasi bukan semata-mata berlaku untuk PLTN. Misainya untuk kapasitas 1.000MWe, PLTN menghasilkan 50kCi radiasi yang sebagian besar berasal dari gas Xenon dan Krypton sementara PLTU akan mengeluarkan 2Ci radiasi yang keluar dari cerobong asapnya. Meskipun jumlahnya jauh lebih kecil, radiasi dari PLTU mempunyai dampak kesehatan yang lebih besar karena kalau abu tersebut terhisap akan menetap di paru-paru, sumsum tulang atau jaringan yang lain dan merupakan ancaman yang kontinyu sementara radiasi PLTN lebih berupa sinar yang menembus tubuh dan tidak menetap. Pada kedua kasus ini, radiasi yang dihasilkannya masih berada jauh dibawah limit masing-masing.
Limbah nuklir sampai saat ini tetap menjadi sumber utama kecemasan masyarakat banyak tentang PLTN. Sebuah PLTN dengan kapasitas 1.000 MWe membutuhkan sekitar 1 metrik ton bahan bakar dan menghalkan limbah sebanyak kira-kira 70 liter per hari. Sampai tahun 1980, AS telah menghasilkan 36 juta ton limbah dengan radiasi rendah dan 8.300 ton limbah dengan radiasi tinggi. Jumlah ini sebenarnya menghasilkan dampak radiologis yang setingkat dengan ratusan juta ton sampah yang dihasilkan oleh PLTU. Hanya karena konsentrasi radiasi yang tinggi, limbah PLTN membutuhkan suatu penanganan yang khusus. Selama ini, sisa bahan bakar dengan radiasi tinggi disimpan sementara di kolam-kolam penampungan sehingga efek radiasi yang ditimbulkannya dapat diabaikan, tetapi dengan semakin meningkatnya pemakain PLTN dalam produksi listrik, kebutuhan akan suatu metode penyimpanan permanen yang tepercaya terasa semakin mendesak. Meskipun sejauh ini belum ada satu cara yang dapat diterima secara meluas, beberapa metode yang diusulkan meliputi penyimpanan di tambang garam, lapisan granit, dibawah lapisan air tanah atau di dasar laut. Satu syarat mutlak yang telah dipenuhi oleh lokasi-lokasi ini terjaminnya kestabilan geologis untuk masa-masa yang akan datang.
Untuk PLTN, satu tambahan pertimbangan adalah adanya ancaman terorisme, meskipun sampai sekarang belum ada realisasinya. Meskipun menurut para ahli penggelapan Plutonium untuk pembuatan bom nuklir sederhana lebih merupakan fiksi daripada kenyataan, hendaknya hal ini diperhitungkan juga dalam pemilihan jenis Pembangkit Tenaga Listrik dan lokasinya di masa mendatang. Tetapi dengan sikap waspada dan hati-hati yang selama ini dianut dalam lingkup penggunaan bahan nuklir dan fakta bahwa untuk Indonesia risiko ini adalah lebih kecil daripada di negara-negara lain yang lebih maju dan liberal, agaknya untuk saat ini hal tersebut hanya akan merupakan pertimbangan minor saja. q