Nomor 35, Tahun VI, Februari
2001
|
|||||||||
SAJIAN UTAMA |
Digital Watermarking : Teknologi Pelindung HAKI Multimedia |
||||||||
|
Teknologi digital serta internet
saat ini telah memberi kemudahan bagi kita untuk melakukan akses serta
mendistribusikan berbagai informasi dalam format digital. Bayangkan saja,
jika anda sedang tamasya bersama keluarga, kemudian anda sampai pada suatu
tempat yang sangat menarik dan anda ingin mengabadikannya. Anda keluarkan
kamera digital, bidik, klik dan gambar langsung terekam dalam disk.
Kemudian tiba-tiba anda teringat pada sahabat dan kawan-kawan, dan
anda ingin berkirim kabar pada mereka. Daripada menulis kartupos banyak-banyak,
maka anda ambil handphone, tulis email dan attach file foto terbaru bersama
keluarga, dan kirim sekaligus ke puluhan alamat email relasi anda. Efisien
dan cepat. Atau anda bisa pajang foto-foto liburan tadi di homepage pribadi,
sehingga siapa saja bisa melihatnya.
Namun ceritanya bisa lain jika ada 'oknum' yang kebetulan melihat foto-foto anda beserta keluarga yang kebetulan memang fotogenik dan layak jual. Si oknum tadi bisa dengan mudah mendownload, copy, kemudian barangkali melakukan sedikit manipulasi dan memasang gambar keluarga anda sebagai illustrasi iklan produk tertentu. Apakah anda bisa menuntut sang oknum ? Tentu saja bisa. Namun apakah anda bisa membuktikan bahwa foto yang sudah dimanipulasi tadi memang benar-benar milik anda ? Sulit ! Skenario lain misalnya pada distribusi
video stream digital, seperti film komersial atau berita. Di sini ada tiga
pihak yang terkait, yaitu pemilik film, distributor, dan konsumen akhir.
Jika pengiriman data dilakukan melalui jaringan, maka untuk
menghindari penyadapan bisa dilakukan enkripsi. Sebelum dikirim data dienkripsi
dahulu dengan kunci tertentu, dan hanya bisa dibaca oleh si penerima yang
kita beri kunci untuk mendekripsinya. Namun, jika ada distributor yang
nakal, setelah mendekripsi kemudian memperbanyak materi tadi dan menjualnya
secara illegal, apakah anda sebagai pemilik bisa melacak dan membuktikan
siapa pelakunya ? Tentu saja sulit. Dari contoh tadi kita tahu bahwa enkripsi
saja tidak mencukupi dan harus ada teknologi lain yang mendukungnya.
WatermarkingTeknologi watermarking, yang mencoba menjawab kebutuhan di atas, relatif masih baru dan belum matang serta masih membuka peluang riset yang luas. Ide awalnya muncul pada tahun 1990, dan pada tahun 1993 Tirkel et al mulai menggunakan kata 'watermark' dalam papernya. Namun baru pada tahun 1995/1996 topik ini menjadi perhatian dan mulai menjadi salah satu fokus riset.Prinsip dasar watermarking ditunjukkan pada Gambar 1. Teknik watermarking bekerja dengan menyisipkan sedikit informasi yang menunjukkan kepemilikan, tujuan, atau data lain, pada materi multimedia tanpa mempengaruhi kualitasnya. Jadi pada citra (image) digital, mata kita tidak bisa membedakan apakah citra tersebut disisipi watermark atau tidak. Demikian pula jika kita terapkan pada audio atau musik, telinga kita tidak bisa mendengar sisipan informasi tadi. Sehingga pada teknologi ini dikenal suatu persyaratan bahwa watermark haruslah imperceptible atau tidak terdeteksi oleh indera penglihatan (human visual system / HVS) atau indera pendengaran (human auditory system / HAS). Gambar 1 - Prinsip Dasar Digital Watermarking Sementara dokumen asli dan watermark kita simpan dan rahasiakan, dokumen yang sudah disisipi watermark bisa dipublikasikan. Nah, sang 'oknum' kemudian mengambil materi yang sudah dipublikasikan tadi dan memanipulasinya. Dia bisa melakukan cropping, rotasi, sampling ulang, dan berbagai proses signal digital lainnya. Dalam dunia digital watermarking, hal ini dikenal sebagai 'attack' terhadap materi yang sudah disisipi watermark. Setelah sang oknum merasa yakin bahwa dokumen tadi sudah hilang watermarknya, dia kemudian bisa mendistribusikan atau memperdagangkannya. Jika kebetulan anda menemukan dokumen yang anda curigai sebagai bajakan dari milik anda, olah dokumen tadi untuk mengambil watermark yang tersembunyi dan bandingkan dengan data asli yang anda simpan. Kecil kemungkinan bahwa kedua data tadi akan persis sama. Namun jika dalam tingkat tertentu keduanya memiliki kemiripan, dimana hal ini bisa diukur secara statistik, maka anda yakin bahwa materi tadi memang berasal dari milik anda. Robust vs Fragile WatermarkingPada dasarnya ada dua jenis algoritma watermarking, yaitu 'robust' dan 'fragile' watermark. Pada robust watermark, data disisipkan dengan sangat kuat, sehingga jika ada yang berusaha menghapusnya maka gambar atau suara yang disisipi akan ikut rusak dan tidak punya nilai komersial lagi. Watermark jenis ini digunakan untuk aplikasi proteksi kepemilikan. Sebaliknya pada fragile watermark, data disisipkan dengan tidak begitu kuat, sehingga jika dokumen yang sudah diwatermark mengalami manipulasi, maka setelah kita proses, akan terdeteksi bagian mana yang dimanipulasi. Sebagai illustrasi, jika anda perhatikan Gambar 2, apakah anda bisa membedakan manakah gambar yang asli ? Disinilah fragile watermarking bisa berperan untuk otentikasi dan integrity control.Gambar 2 - Manakah yang otentik, Hillary atau Monica ? Contoh Algoritma
Gambar 3 - Robust Watermarking pada Citra Digital dengan Domain DCT Untuk mendeteksi apakah dokumen yang kita curigai (dalam hal ini citra yang sudah disisipi watermark dan sudah mengalami attack) merupakan turunan dari dokumen asli, maka pendeteksian bisa dilakukan dengan proses kebalikan dari Gambar 3 tersebut, dan akhirnya dilakukan proses pembandingan secara statistik antara watermark hasil deteksi dengan satu set watermark yang kita miliki. Contoh hasil deteksi dimana watermark nomor 200 yang kita sisipkan, ditunjukkan pada Gambar 4. Gambar 4 - Output Detektor Watermark
Aplikasi LainnyaSelain digunakan untuk proteksi kepemilikan serta untuk memonitor distribusi material digital ataupun untuk otentikasi, ada beberapa skenario aplikasi lainnya. Pada industri broadcasting, digital watermarking bisa dimanfaatkan untuk memonitor iklan yang ditayangkan. Si pemasang iklan akan bisa mendeteksi dan menghitung apakah iklannya sudah ditayangkan sebanyak yang diinginkan. Produser atau pemegang hak milik dari suatu film misalnya, akan bisa memonitor distribusi dan penayangan filmnya. Penayangan ulang yang tidak sesuai kontrak akan terdeteksi. Selain itu, survey terhadap minat penonton juga bisa memanfaatkan teknologi ini. Tanpa menggunakan kertas kuisioner atau wawancara, pada pesawat penerima para responden dipasang detektor watermarking yang akan mencatat program apa saja yang ditonton.Beberapa Solution ProviderWalaupun teknologi ini masih belum matang, namun sudah muncul beberapa perusahaan penyedia solusi watermarking dari USA, Inggris, Swiss, Korea, dan Yunani, antara lain: Alpha Tec Ltd (http://www.alphatecltd.com), AlpVision (http://www.alpvision.com), Bluespike (http://www.bluespike.com), Cognicity (http://www.cognicity.com), Digimark (http://www.digimarc.com), DCT (http://www.dct-group.com), MediaSec (http://www.mediasec.com), Sealtronic (http://www.sealtronic.com), Signum Technologies (http://www.signumtech.com), dan Verance (http://www.verance.com).Adakah relevansinya buat Indonesia ?Ini adalah pertanyaan yang menarik dan bisa kita lihat pro dan kontranya. Pertama, apakah banyak pemilik hak cipta materi multimedia di Indonesia yang perlu dilindungi ? Yang jelas industri musik kita semakin marak dan banyak pemusik kita yang masih pemula yang sudah mempublikasikan karyanya di internet dalam format MP3. Kemudian anda juga bisa temukan banyak karya grafis seniman kita yang terpampang di internet. Kedua, apakah mayoritas masyarakat kita sudah menghargai hak cipta ? Terlepas dari masalah krisis ekonomi yang memang menghempas rupiah, faktanya kita dengan mudah bisa mendapatkan berbagai produk digital bajakan. Selanjutnya perlu diketahui pula bahwa mulai 1 Januari 2000 Indonesia dan negara anggota WTO, sudah harus menerapkan perlindungan hak atas kekayaan intelektual (HAKI), dan Indonesia termasuk negara penanda tangan persetujuan TRIPs (Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights) pada tahun 1994.Barangkali jika ada entrepreneur kita yang berminat untuk turut bermain dalam memberikan solusi digital watermarking, maka akan membantu memberikan sedikit 'cahaya' bagi nama Indonesia yang sudah terkenal sebagai sarangnya barang bajakan. Akhir kata, teknologi sudah tersedia, selanjutnya terserah anda. Daftar Pustaka
|
||||||||
Artikel lain:
Memburu Paten di Bidang Elektronika |
|||||||||