ENERGI
|
ELEKTRO INDONESIA
Nomor 2, Tahun I, Oktober 1994
|
|
[ Daftar Isi ] [ Nomor 1 ] [ Nomor 3 ] [ Nomor 4 ] [ Nomor 5 ] [ Nomor 6 ] [ Nomor 7 ] [ Nomor 8 ] |
Percepatan Penguasaan Teknologi Pembangkit listrik di IndonesiaKonsep Dasar yang melandasi GBHN 1993PJP II sebagai kelanjutan PJP I - Konsep Pembangunan
PJP II sebagai masa tinggal landas - Konsep Kebangsaan PJP II sebagai tetap tumbuh dengan trilogi pembangunan - Konsep keadilan |
|
Dengan semakin berkembangnya tingkat
perekonomian suatu bangsa maka akan semakin besar pula kebutuhan energi
yang diperlukan. Selama PJP I yang lalu pembangunan di sektor energi telah
berhasil meningkatkan ketersediaann energi untuk memenuhi kebutuhan dasar
pembangunan nasional sehingga menghasilkan tingkat pertumbuhan ekonomi
yang tinggi. Untuk menjaga kesinambungan pembangunan dalam PJP II mendatang
di mana kegiatan pembangunan lebih dipusatkan pada sektor industri maka
peranan energi, khususnya energi listrik, sebagai infrastruktur dari kegiatan
ekonomi dan industri menjadi sangat strategis. Oleh karena itu ketersediaanya
harus mendapatkan prioritas utama.
Secara garis besar arah dan sasaran pembangunan di sektor energi untuk PELITA VI dan PJP II, telah tercantum di dalam GBHN adalah kemandirian. Kemandirian yang dimaksud di sini kemampuan untuk menjamin kelangsungan hidup tetapi juga untuk tumbuh berkembang dengan kekuatan sendiri. Konsep Kemandirian – Dasar Pemikiran IUntuk mencapai kemandirian dalam pembangunan di sektor energi diperlukan sumber daya manusia yang handal yaitu yang menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang energi. Untuk menciptakan kemandirian seperti yang dimaksud, maka perlu diambil langkah-langkah kebijaksanaan yang tepat, yaitu :
Peran BUMN/BUMNIS
Dasar Pemikiran II Untuk melaksanakan kebijaksanaan-kebijaksanaan di atas, dalam rangka membangun tatanan yang mandiri, tanpa mengabaikan hal-hal yang penting yang sifatnya kegiatan koordinasi, seperti hal-hal pengembangan nilai, budaya, penataan dan pengelolaan kelembagaan IPTEK seta membentuk kemitraan riset, penekanan ke arah pelaksanaan teknis dan operasional pun harus dipertajam, yaitu : mempercepat proses alih teknologi dengan menumbuhkan dan meningkatkan inovasi penguasaan IPTEK. Konsep yang telah teruji di IPTN, yaitu dengan jalan MANUFAKTUR PROGRESIF, yang dimulai dari sistem licensing hingga akhirnya PEMBANGUNAN PRODUK merupakan dasar yang patut di contoh. Kesemua itu harus ditunjang dengan sistem SUMBER DAYA MANUSIA yang berkualitas serta penyediaan DANA yang cukup. Menjabarkan hal tersebut di atas, dapat dimulai dari hal yang sangat mendasar, yaitu dengan membentuk, mengintegrasikan dan mengembangkan kemampuan dalam penguasaan REKAYASA dan RANCANG BANGUN untuk menunjang program MANUFAKTUR PROGRESIF serta memacu potensi industri-industri nasional, termasuk pembenahan dan penambahan investasi fasilitas produksi jika diperlukan, untuk meningkatkan efisiensi. Peningkatan perolehan nilai tambah yang tinggi, yang berjalan bersamaan dengan peningkatan produktivitas, jelas akan membutuhkan investasi yang besar dan tenggang waktu untuk pencapaiannya. Sehingga untuk mengatur strategi yang direncanakan nampaknya pada saat ini masih sulit apabila dilakukan oleh pihak swasta, yang biasanya membutuhkan pengembalian investasi yang cepat. Suatu alternatif adalah memakai BUMN/BUMNIS, sebagai UJUNG TOMBAK dan pelopor PENGGUNAAN TEKNOLOGI agar nilai tambah tinggi dapat dicapai. Lebih lanjut, untuk melaksanakan kebijaksanaan-kebijaksanaan di atas diperlukan suatu kerjasama yang baik antara pemerintah, BUMN, BUMNIS dan Swasta. BUMNIS sebagai tulang punggung industri nasional dalam hal ini harus berperan aktif dalam mewujudkan kebijaksanaan-kebijaksanaan di atas. Oleh karena itu BPIS sebagai pengelola industri strategis memegang inisiatif dalam melakukan koordinasi kegiatan BUMNIS yang bernaung di bawahnya. Dengan BUMN, BUMNIS dan swasta secara bersama yang didukung oleh kebijaksanaan pemerintah, maka dari kesemuanya ini akan dapat diciptakan suatu sinergi yang kuat yang akhirnya membawa kekuatan industri nasional ke arah kemandirian. Misi dan Tujuan BPISBPIS sebagai pengelola industri strategis mempunyai misi dan tujuan untuk pencapaian KONSEP KEMANDIRIAN dengan mengusahakan menjadi UJUNG TOMBAK pembangunan infra struktur industri melalui penguasaan teknologi dalam rangka menunjang pembangunan ekonomi nasional dan kemandirian HANKAMNEG. Secara singkat point-point tersebut adalah :
Dasar Pemikiraan untuk Pencapaian TujuanUntuk mencapai apa yang telah digariskan pada misi dan tujuan BPIS, yaitu menjadi ujung tombak pembangunan infra struktur industri melalui penguasaan teknologi dalam rangka menunjang pembangunan ekonomi nasional dan kemandirian hankamneg maka dirumuskan suatu strategi. Strategi tersebut didasari oleh konsep penguasaan teknologi yang efektif melalui langkah manufaktur progresif, dengan memperhatikan bahwa obyek/arena yang dijadikan sarana tujuan pencapaian harus :
Kebutuhan akan Energi Listrik pada PJP II Berdasarkan proyeksi PLN, pada PJP II mendatang kebutuhan energi listrik nasional akan meningkat sebesar 15-17%. Sebagai contoh dalam PELITA VI saja diperkirakan akan dibutuhkan sekitar 12.500 MW energi listrik. Ini meupakan peningkatan yang sangat tinggi. Peluang Industri energi merupakan industri yang padat modal, padat karya dan padat teknologi. Untuk menghadapi tantangan ini dibutuhkan keterlibatan dan kerja sama dari semua pihak meliputi pemerintah, swasta, BUMN, BUMNIS dan lembaga akademis. Secara singkat point-point tersebut adalah :
Peta Kemampuan BUMN, BUMNIS, Swasta dalam Industri EnergiPerusahaan-perusahaan lokal/nasional saat ini telah memiliki kemampuan yang handal dalam bidang teknologi fabrikasi. Namun demikian nilai tambah lokal yang terkandung di dalam proyek-proyek pembangkit listrik, trasmisi dan distribusi masih rendah. Ini disebabkan oleh lemahnya kemampuan sumber daya manusia di bidang rekayasa dan rancang bangun (design engineering), baik disain konseptual, basic, maupun disain detil.Oleh karena lemahnya kemampuan di bidang rekayasa dan rancang bangun tersebut, disertai dengan kurang handalnya penguasaan manajemen proyek, hal ini mengakibatkan sedikitnya pengusaha nasional yang siap menjadi kontraktor utama (main contractor), mereka hanya dapat bertindak sebagai sub-kontraktor yang pada umumnya sangat tergantung kepada kontraktor utama dan oleh sebab itu biasanya hanya mempunyai margin yang minim. Selain itu dengan lemahnya kemampuan di bidang rekayasa dan rancang bangun ini sering kali terjadi permainan harga untuk sub sistem ataupun komponen oleh kontraktor utama. Hal ini telah terjadi pada beberapa proyek, di mana pihak kontraktor utama menawarkan paket-paket pekerjaan yang tidak mencerminkan nilai yang wajar. Mungkin saja terjadi subsidi silang, di mana paket-paket pekerjaan yang diberikan kepada sub kontraktor lokal hanya mempunyai margin yang sangat rendah, bahkan kemungkinann di bawah harga pokok penjualan. Hal ini merupakan salah satu faktor utama mengapa perusahaan nasional perlu didorong untuk menguasai teknologi sehingga dapat menjadi kontraktor utama. Tidak kalah pentingnya bahwa terbatasnya dana merupakan suatu hambatan dalam pengelolaan proyek. Tanpa dana yang memadai akan menjadi kendala untuk mengusahakan konsep kemandirian yang dicapai dari peningkatan kandungan lokal dan akan melemahkan posisi bargaining dengan partner dalam rangka proses alih teknologi. Hal ini telah dialami oleh salah satu BUMNIS, pada situasi dimana partner luar negeri mambawa pendanaan, maka dengan alasan peraturan pihak pemberi dana, prosentase pekerjaan lokal ditekan. Namun dengan kondisi bahwa BUMNIS dapat menyediakan pendanaan sendiri, kendala ini tidak akan terjadi, sehingga prosentase pekerjaan lokal ditekan. Namun dengan kondisi bahwa BUMNIS dapat menyediakan pendanaan sendiri, kendala ini tidak akan terjadi, sehingga prosentase pekerjaan lokal bisa tergantung dari kesiapan dan kemampuan BUMNIS di dalam mengalihkan teknologi tersebut. Selain itu walaupun dana pinjaman tersedia, namun hal ini seringkali malah mengikat dengan suatu keadaan tertentu, di mana sebagian besar dana (85%) harus dibelanjakan di negara pemberi dana. Secara garis besar kondisinya dapat disimpulkan sebagai berikut :
Alternatif SolusiUntuk menjawab permasalahan diatas, perlu dipikirkan suatu solusi. Jawaban yang langsung adalah diperlukannya pengambangan kemampuan lokal yang harus lebih ditekankan pada pengembangan kemampuan design engineering (rekayasa dan rancang bangun), terutama di dalam rekayasa dan rancang bangun total sistem dari pembangkit listrik, transmisi dan distribusinya.Pembangkit listrik tenaga thermal itu sendiri dapat dibagi menjadi tiga sistem besar, yaitu : boiler/HRSG, balance of plant (BOP) dan turbin. Untuk itu, prioritas dapat dilakukan dari hal yang paling memungkinkan, misalnya sistem BOP, yang secara cepat dapat dimulai dari tiap subsistemnya seperti kondenser, heat exchanger dll. Selain hal yang sifatnya sangat teknis dan detil juga perlu dipikirkan hal bersifat teknis dan koordinasi secara nasional seperti :
Solusi Usulan BPISJawaban sebagai solusi usulan yang diberikan oleh BPIS dalam rangka mencapai konsep kemandirian adalah sebagai berikut :Sebagai tindakan antisipasi, pada Rakoris 2, Desember 1990, BPIS telah merumuskan pusat-pusat unggulan di BUMNIS-nya untuk bidang energi khususnya dalam rangka mengantisipasi perkembangan kebutuhan tentang pembangkit tenaga listrik. Sebagai contoh dari pembagian pusat unggulan adalah :
Dari segi fabrikasi, memperhatikan fasilitas yang dimiliki di BUMNIS maka pada dasarnya semua BUMNIS mempunyai kemampuan yang sama, sehingga dapat dilakukan suatu pusat unggulan terhadap yang lainnya dalam rangka efisiensi dan produktifitas. Dengan demikian, kapasitas yang dipertimbangkan adalah kapasitas gabungan BUMNIS, bahkan juga gabungan secara nasional dengan menyertakan kemampuan pihak swasta. Sedangkan dalam bidang rekayasa dan rancang bangun (design & Engineering), atas dasar surat keputusan Meneg Ristek, ka BPPT/BPIS no SK/694/M/BPIS/XI/1993 telah dibentuk team ENGINEERING CENTER, sebagai pusat rekayasa dan rancang bangun untuk menunjang, mempercepat alih teknologi dan pengembangannya. Dalam kegiatan team ini berhubungan dan bekerja sama atau dapat berintegrasi dengan badan atau instansi lain seperti BPPT, PLN-PPE, Perguruan tinggi, BUMN, BUMNIS serta SWASTA NASIONAL. Sebagai contoh, masing-masing subsistem dari suatu sistem power station dapat diuraikan sebagai berikut : 1.Balance of Plan (BOP) Seperti diuraikan diatas, BOP ,merupakan pusat unggulan dari PT Boma Bisma Indra (PT BBI). Dengan demikian, PT BBI mempunyai kewajiban untuk melaksanakan alih teknologi BOP. Saat ini PT BBI telah merintis jalan melalui kerjasama partner luar negeri dalam fabrikasi sebagian komponen BOP. Kerjasama ini perlu ditiingkatkan, tidak hanya kegiatan fabrikasi saja, namun juga bidang design engineering, yang dalam ini PT BBI didukung oleh Engineering Center BPIS (EC-BPIS). Melalui proyek-proyek yang telah dilaksanakan , PT BBI/Engineering Center BPIS telah mampu menangani fabrikasi terhadap hampir keseluruhan komponen dan sekitar 75% design engineering BOP. (Lihat Tabel-1). Hal yang sama juga dapat dilakukan oleh PT PAL dengan BOP-nya. Dengan demikian, diperkirakan dapat mengerjakan 2 (dua) kali subsistem BOP, maka PT BBI/EC-BPIS dapat menguasai secara penuh teknologi BOP. 2. Boilers / HRSG Sejak bulan April 1991 yang lalu, PT Barata Indonesia, PT PAL Indonesia dan PT Boma Bisma Indra telah memperoleh shop approval dari ASME sebagai Boiler Manufakturer. Selanjutnya adalah usaha untuk meningkatkan kemampuan design & engineering sehingga mampu secara penuh mendesain dan memproduksi Boilers/HRSG yang memenuhi standar internasional. Langkah yang sama pada BOP akan di tempuh oleh PT Barata Indonesia sebagai pusat unggulan untuk boiler/HRSG, dengan dukungan dari Engineering Center BPIS. Diperkirakan, dengan dapat mengerjakan 4 (empat) kali sistem Boilers/HRSG, maka PT Barata Indonesia/EC-BPIS akan mampu secara penuh menguasai teknologi Boilers/HRSG. 3.Turbin Karena pertimbangan high-complexity dan high-precision dan komponennya maka program alih teknologi di bidang turbin perlu disusun secara hati-hati dan cermat. Namun demikian, sebagai satu "island" yang terpisah, subsistem turbin dapat diberlakukan sebagai " vendor item." Suatu ketika jika kondisi pasar sudah memungkinkan, maka bisa dibangun suatu industri turbin sendiri. Pada saat ini, fasilitas assembling & ballancing (static dan dynamis) untuk turbin telah tersedia di PT PAL Indonesia, dan diharapkan kemampuan PT PAL Indonesia dapat digunakan semaksimal mungkin dari segi fabrikasi/machining untuk komponen statis PT PAL maupun PT BBI dan PT Barata Indonesia mempunyai kemampuan untuk melaksanakannya, sehingga mudah melakukan transfer load. Secara keseluruhan, akhirnya dapat disusun skenario program penguasaan teknologi di bidang power station yang melibatkan BPIS/BUMNIS dan industri nasional lainnya, yang di dalam pelaksanaannya melibatkan mitra luar negeri, di mana secara bertahap dan progresi, nilai tambah yang diserap oleh perusahaan nasional meningkat, sehingga porsi pekerjaan yang ditangani pada suatu saat akan menjadi lebih besar dari mitra luar negeri. Dan pada saat itulah BPIS/BUMNIS akan dapat mulai berperan sebagai main contractor. PenutupMemperhatikan uraian bab terdahulu, dapat disimpulkan pada dasarnya bangsa Indonesia telah bertekad untuk tinggal landas pada PJP - II ini. Hal ini semakin jelas pada konsep kemandirian yang melandasi GBHN 1993 dan program-program pemerintah dalam ini adalah dengan membentuk BPIS dengan misi utama sebagai ujung tombak industrialisasi nasional, melalui penguasaan teknologi, dalam rangka nasional dan kemandirian Hankamneg.Energi adalah salah satu bidang industri yang memenuhi kriteria sebagai wahana penguasaan teknologi bagi BPIS/BUMNIS khususnya dan industri nasional pada umumnya, mengingat perkembangan nilai tambah yang tinggi, peluang pasar besar dan kegiatannya repetitif. Memperhatikan bahwa pasar maupun dana yang digunakan di dalam pembangunan proyek-proyek kelistrikan adalah milik kita, dalam hal ini milik nasional, maka sudah sepatutnya yang berperan di dalam mengerjakan, meraih nilai tambah serta keuntungannya adalah perusahaan nasional. Melalui tulisan ini, BPIS bermaksud mengajak pihak-pihak terkait, dalam hal ini, BUMN, Swasta, pihak Perbankan mitra kontraktor utama luar negeri dan tentunya PLN sebagai owner untuk bersama-sama menyatukan potensi dalam bentuk sinergi masional dengan satu tujuan, penguasaan teknologi di bidang pembangunan proyek kelistrikan, sehingga pada momentum Pelita VI ini kita sudah dapat menguasai teknologi dan berperan sebagai kontraktor utama untuk menangani proyek-proyek di dalam negeri atau bahkan unggul secara regional. Oleh:
|
||