ELEKTRO INDONESIA Edisi ke Lima, Desember 1996
Keberadaan Dunia Pendidikan Tinggi
Pengembangan kemampuan rancang bagun dan rekayasa dengan dukungan SDM yang bermutu dalam penguasaan teknologi memerlukan perencanaan yang utuh, waktu yang lama dan beaya besar, dan keajegan dalam bertindak. Perubahan arah industrialisasi pertengahan tahun 1980 mengubah institusi pendidikan tinggi ke arah “balai kerja” atau lembaga kursus. Semula pendidikan tinggi diharapkan sebagai penggodokan agen perubahan, berubah menjadi tempat produksi tenaga siap pakai, bahasa lain dari link and match (lihat misalnya, Ferryanto, 1995a).
Walaupun begitu, jumlah mahasiswa Indonesia keseluruhan sekitar 1,5 juta atau sekitar 7 persen dari jumlah penduduk kelompok usia sekolah yang bersangkutan (sekitar 20 juta). Jumlah ini relatif rendah dibandingkan mahasiswa negara industri atau negara industri baru, 30-40 persen dari seluruh jumlah penduduk kelompok usia sekolah (Ariwibowo, 1996b). Tetapi ironinya, tahun-tahun terakhir ini menunjukkan bahwa penawaran tenaga kerja selalu lebih rendah dari permintaan (lulusan). Struktur pendidikan angkatan kerja nasional menunjukkan bahwa kebutuhan lulusan pendidikan tinggi tidak lebih dari 3 persen dari jumlah total tenaga kerja (sekitar 13 juta) pada tahun 1993 (Boediono dan McMahon, 1993). Struktur pendidikan angkatan kerja nasional ini terlihat terkorelasi dengan struktur industri nasional, bila kita pahami dengan baik.
Bila kita teropong lebih dalam, walaupun kelebihan permintaan, diperkirakan dunia kerja pada akhir Pelita VI akan kekurangan sarjana teknik dan ilmu administrasi perusahaan/keuangan sekitar 0,07 persen dan sarjana ilmu murni sekitar 49 persen. Sedangkan jumlah sarjana ilmu sosial (seperti sarjana hukum, humanisme, perilaku dan komunikasi massa) dan pertanian (termasuk perikanan dan kehutanan) yang tidak mendapatkan pekerjaan diperkirakan jumlahnya di atas 60 persen selama pelita VI (Kompas, 5 Agustus 1994).
Ketidakmerataan peluang kerja ini akibat perubahan “mendadak” arah industrialisasi nasional pertengahan tahun 1980 yang tidak diimbangi dengan pendistribusian bidang studi yang dibutuhkan. Pada tahun 1989/1990 pendidikan tinggi mempunyai komposisi bidang studi yang njomplang, 12,8 persen adalah teknik, 1,6 persen adalah ilmu murni, 7,3 persen adalah pertanian, kedokteran/farmasi 2,8 persen, keguruan/pendidikan 18,2 persen, ilmu ekonomi-sosial 53,5 persen, dan kesenian 3,6 persen (Ariwibowo, 1996b). Industrialisasi yang mantap membutuhkan sekitar lebih dari 30 persen komposisi bidang studi teknik, seperti Korea, Singapura dan Taiwan.
Keberadaan struktur industri nasional lebih memberi peluang kerja bagi lulusan pendidikan tinggi di sektor manajemen dan keuangan dengan tingkat upah yang tinggi. Peluang ini menyedot ilmuwan dan insinyur yang dihasilkan sehingga mereka tidak dapat sepenuhnya menggunakan kepakaran teknik mereka. Ini semakin memperparah kerapuhan struktur industri nasional yang ada.
Penutup
Menyadari bahwa sumber daya alam adalah terbatas, satu-satunya jalan untuk memperkuat struktur industri nasional (yang masih menggantungkan pada tenaga kerja dan sumber daya alam) adalah memperbaiki SDM. Pembenahan struktur biaya dan distorsi pasar yang banyak ditawarkan oleh para ekonom (Bisnis Indonesia, 16 Oktober 1996) belum menyentuh esensi dari struktur industri nasional. Beberapa institusi pendidikan tinggi yang menyadari bahwa dirinya, termasuk lulusannya, adalah agen perubahan merupakan “kawah candradimuk”. Harapan ini tentu saja untuk menjamin kelangsungan bangsa ini secara keseluruhan.
Di sisi lain, organisasi-organisasi profesi seperti Persatuan Insinyur Indonesia, Ikatan Sarjana Ekonomi, Ikatan Statistikawan Indonesia dan lain-lainnya sangat potensial untuk dapat membantu mewujud-nyatakan pembentukan SDM bermutu. Persatuan Ilmuwan dan Insinyur Jepang (JUSO) sejak tahun 1962 telah melakukan pelatihan-pelatihan terstruktur lewat pembentukan gugus mutu (quality circle) di industri-industri Jepang. Untuk itu organisasi-organisasi profesi nasional harus mau mengubah dirinya, dari hanya sebagai tempat “dagang sapi” menjadi profesional sebagai motor penggerak perubahan dan sekaligus penguat struktur industri nasional.
Acuan
- I. Alisjahbana (1995), “Deregulasi Besar-besaran Harus Dilakukan untuk Kejar Ketertinggalan Infrastrukur Informasi”, Kompas, 28 Januari.
- T. Ariwibowo(1996a), “Strategi Penguasaan Iptek untuk Industrialisasi”, Jawa Pos, 12 Maret.
- T. Ariwibowo (1996b), “Kebutuhan Ahli Teknik dalam Industrialisasi”, Jawa Pos, 10 Februari.
- Bodiono dan W.W. McMahon (1993), “Isyarat Pasar dan Analisis Pasar Tenaga Kerja”, Prisma No. 3.
- SG. Ferryanto (1995a), “Industrialisasi, Industri dan Perguruan Tinggi”, Bina Darma, Edisi 50 Tahun RI, Agustus.
- SG. Ferryanto (1995b), “Iptek dan Pengembangan Sumber Daya Manusia”, Jawa Pos, 20 Januari.
- SG. Ferryanto (1988), “Strategi Pendidikan Tinggi Menjelang Era Informasi”, Jawa Pos, 20 Mei.
- U. Juoro (1996), “Teknolog, Teknokrat dan Strategi Pembangunan”, Kompas, 22 Maret.
- Kompas (1995a), “Riskan, Jika Industri Terlalu Bergantung Sepuluh Andalan”, 21 September.
- Kompas (1995b), “Ketergantungan pada Impor Lemahkan Struktur Industri Elektronika Nasional”, 2 Februari.
- Kompas (1995c), “Industri Otomotif tetap Rapuh dan tidak Mampu Lepaskan Ketergantungan Impor”, 31 Januari.
- Kompas (1994), “Meningkatnya Jumlah Sarjana Menganggur”, 5 Agustus.
- Bisnis Indonesia (1996), “Menyorot Kembali Industri Nasional ‘dan’ Benahi Struktur Biaya dan Distorsi Pasar”, 16 Oktober.
- D. Ray (1995), “Kemampuan Teknologi dan Ekonomi Indonesia”, Prisma No. 9
- Thee Kian Wie (1994), Industrialisasi di Indonesia Beberapa Kajian, LP3ES, Jakarta.
Dr. Ir. SG. Ferryanto, M.Sc. adalah staf Pengajar di Jurusan Teknik dan Manajemen Industri, U.K. Petra Surabaya.
[Sajian Utama]
[Profil Elektro]
[KOMPUTER]
[KOMUNIKASI]
[KENDALI]
[ENERGI]
[ELEKTRONIKA]
[INSTRUMENTASI]
[PII NEWS]
Please send
comments, suggestions, and criticisms about ELEKTRO INDONESIA.
Click here to
send me email.
[Edisi Sebelumnya]
© 1996 ELEKTRO ONLINE and INDOSAT NET.
All Rights Reserved.