Nomor 27, Tahun VI, Agustus
1999
|
||||
SAJIAN UTAMA
|
Prospek Bisnis dan Perkembangan Teknologi Cogeneration |
|||
Home
Halaman Muka Sajian Khusus Komunikasi Komputer Kendali Elektronika |
Penerapan sistem cogeneration yang merupakan kombinasi pembangkit tenaga energi panas dan tenaga listrik, disingkat CHP (Combined Heat and Power), sudah mulai dilakukan oleh beberapa industri di lingkungan Industri Kimia, Agro dan Hasil Hutan (IKAH) seperti industri amonia, pulp & kertas, kayu lapis, terutama untuk memenuhi kebutuhan energi panas berupa air panas proses/uap air proses dan listrik dalam jumlah yang besar secara simultan dengan penggunaan bahan bakar yang lebih efisien.
Hal itu diungkapkan Dirjen IKAH Departemen Perindustrian dan Perdagangan, Dr. Ir. Gatot Ibnusantosa, dalam makalahnya pada Seminar Cogeneration Indonesia, 11 Agustus 1999 di Jakarta. Keuntungan yang diperoleh dengan penerapan CHP, menurut Dirjen IKAH lebih lanjut, antara lain adalah dapat mengurangi penggunaan bahan bakar serta meningkatkan pemanfaatan energi panas dan listrik sehingga mengurangi biaya operasi, serta mengurangi emisi bahan bakar, sehingga menjaga kelestarian lingkungan. Senada dengan pernyataan tersebut, Dirut PT PLN PJB I, Ir. Firdaus Akmal, dalam kesempatan yang sama menyebutkan bahwa pengembangan cogeneration perlu dilakukan karena dapat menghemat penggunaan bahan bakar, di samping mengurangi emisi gas buang. "Pembangunan unit pembangkit cogeneration untuk keperluan suatu industri, diharapkan dapat dilakukan dengan optimum, yang memberikan keseimbangan antara output listrik dan uapnya, sehingga tidak terjadi over capacity," katanya lebih lanjut. Apa itu Cogeneration?Deputi Kepala BPPT Bidang Teknologi Informasi, Energi dan Material, Dr. Ir. Ashwin Sasongko menjelaskan bahwa cogeneration adalah teknologi konversi energi yang memproduksi listrik dan uap (termal) secara simultan. Tergantung dari tipe yang dipasang, efisiensi energi keseluruhan cogeneration bisa mencapai 90% (Albisu, 1990). Selain itu instalasi cogeneration di dalam lingkungan pabrik juga akan mengurangi rugi-rugi transmisi.Pemakalah yang lain dalam seminar yang diselenggarakan dalam rangka Hari Teknologi ini, Ir. Herman Darnel, M.Sc, Direktur Pengembangan dan Niaga PLN PJB I, menyebutkan bahwa cogeneration lazim didefinisikan sebagai proses pembangkitan secara simultan kebutuhan tenaga listrik dan kebutuhan panas atau steam oleh suatu sistem dari satu sumber energi. Dengan kata lain energi dalam bentuk listrik dan steam tidak dibangkitkan dengan suatu genset atau grid dan suatu boiler secara terpisah. Pada bagian lain, Ir. Herman Darnel, M.Sc menyatakan, banyak kegiatan di industri yang memerlukan bukan hanya listrik akan tetapi juga energi berupa panas yang umumnya dalam bentuk steam, seperti misalnya di industri-industri pulp dan kertas, plywood, pupuk dan industri tekstil. Selama ini kebutuhan energi tersebut kebanyakan masih disediakan secara terpisah. Steam dibangkitkan di boiler dengan pembakaran fuel [bahan bakar], sedangkan listrik diperoleh dari jaringan PLN atau dibangkitkan sendiri dengan menggunakan genset. Konfigurasi pembangkitan secara terpisah seperti di atas belum menghasilkan efisiensi yang maksimum. Kebutuhan tenaga listrik dan panas dalam suatu proses produksi dapat dipenuhi dengan cara lebih efisien dengan menggunakan teknologi cogeneration, di mana panas dan listrik dibangkitkan secara simultan. Ada dua jenis sistem cogeneration yang umum dipasang, yaitu siklus topping dan siklus bottoming. Pada sistem topping, panas yang dibangkitkan bahan bakar digunakan lebih dahulu untuk memproduksi listrik, baru kemudian energi termal pada suhu lebih rendah digunakan untuk menghasilkan uap proses. Pada siklus bottoming, panas dari pembakaran dimanfaatkan lebih dahulu untuk memenuhi kebutuhan termal proses; panas residu dipakai untuk membangkitkan listrik. Siklus topping dapat menggunakan turbin uap, gas atau mesin diesel. Tipe sistem cogeneration turbin uap umumnya terdapat pada sektor industri kertas dan pulp. Teknologinya telah berkembang dengan konsisten, andal, mudah dioperasikan, dan efisiensinya tinggi. Sistem ini disukai dimana permintaan uap mendominasi keseimbangan energi atau dengan kata lain rasio antara listrik dan panas proses rendah, 0.029-0.107 kWh/MJ. Uap tipikal dibangkitkan pada 540oC pada tekanan 100 atm yang kemudian diekspansi melalui turbin. Turbin uap sendiri adalah mesin peralatan yang lebih sederhana daripada turbin gas, tetapi makin besar sistem makin kompleks instalasinya. Kapasitas yang bisa dicakup 0.5-100 MW. Dari segi fleksibilitas bahan bakar, boiler bisa menggunakan gas, minyak, batubara, atau produk samping residu seperti limbah kayu, gas buang kilang minyak. Ada dua macam turbin pada sistem ini, yaitu extraction atau condensing turbine dan back-pressure turbine. Pada sistem turbin gas yang sederhana, sekitar 40% dari keluaran turbin digunakan untuk menggerakkan kompresor, dan gas keluaran dari turbin masih cukup panas sekitar 425-540oC. Turbin gas topping lebih sesuai untuk aplikasi yang memerlukan rasio listrik dan panas proses yang lebih tinggi dari turbin uap topping, sekitar 0.133-0.214 kWh/MJ. Kapasitas berkisar 0.1-100 MW. Pada situasi dimana rasio ini cukup tinggi, suatu kombinasi siklus turbine gas/uap topping dapat diterapkan. Pada sistem ini, uap yang dibangkitkan di dalam heat recovery boiler, digunakan turbin uap untuk menghasilkan listrik dan uap keluaran turbin dimanfaatkan untuk panas proses. Sistem turbin gas/uap topping biasanya menggunakan fired heat recovery boiler. Pilihan bahan bakar sistem ini terbatas pada minyak diesel atau gas alam. Sistem ini mempunyai jangkauan pemakaian yang luas mencakup sektor industri dan komersial. Mesin disel dengan kapasitas hingga sekitar 30 MW dapat digunakan sebagai penggerak utama sistem cogeneration yang memerlukan rasio listrik dan panas yang cukup tinggi, 0.143-0.214 kWh/MJ. Keterbatasan mesin disel topping adalah pada pemakaian bahan bakar, yaitu hanya gas atau minyak disel. Umumnya sistem ini digunakan pada sektor komersial dan bangunan institusional. Karena teknologi ini hanya mampu memproduksi gas buang dalam kuantitas yang kecil maka untuk skala industri yang cukup besar, akan diperlukan beberapa mesin disel untuk satu unit heat recovery boiler saja. Pemilihan jenis sistem cogeneration yang akan dipasang lebih baik didasarkan pada beberapa hal sebagai berikut:
Penerapan di IndonesiaDr. Ir. Ashwin Sasongko dan Ir. Joko Santosa, M.Sc menuliskan dalam makalahnya, "Penerapan cogeneration di Indonesia sebenarnya sudah dilakukan oleh beberapa industri, tetapi masih jauh dari potensi pasar yang ada. Kelebihan cogeneration dibanding teknologi energi lain, memberikan peluang yang cukup besar bagi cogeneration untuk digunakan pada industri-industri terutama yang membutuhkan uap atau panas yang cukup besar selain listrik." Cogeneration mempunyai peluang untuk diguanakan, menurut Ir. Herman Darnel, M.Sc, bila paling tidak terdapat salah satu kondisi berikut ini:
Sebagai gambaran, Dirjen IKAH mengungkapkan, saat ini sistem cogeneration ditujukan terutama dalam rangka memanfaatkan panas yang selama ini terbuang dari pembangkit listrik (generator) untuk kebutuhan pengadaan 'panas proses' / 'uap proses'-nya. Beberapa jenis industri di lingkungan IKAH yang telah menerapkan adalah industri yang membutuhkan energi listrik dan sekaligus energi panas untuk kepentingan prosesnya seperti industri-industri yang membutuhkan temperatur tinggi yaitu pulp & kertas (100-300C), kayu (100-200C), kimia (300-500C), semen (100-300C), dan makanan (150-200C). Namun karena penerapannya masih dilakukan secara sendiri-sendiri maka dampak dari efisiensi yang dilakukan masih terbatas dirasakan oleh industri-industri tersebut. Pada bagian lain dari makalah Ir. Firdaus Akmal dan Ir. Ali Herman, disebutkan bahwa cogeneration di Indonesia sudah ada sejak tahun 1920-an pada pabrik Gula di Jawa, dan pada kilang (refinery) pada tahun 1950-an, serta awal tahun 1970-an telah digunakan pada pabrik Pupuk. Umumnya pada era tersebut cogeneration berbasis pada pembangkit tenaga uap. Tahun 1980 an cogeneration digunakan pada lapangan produksi minyak bumi, dengan mulai digunakannya turbin gas. Ir. Herman Darnel, M.Sc mengatakan, "Cogeneration yang digunakan sebelum tahun 1960 adalah steam turbine cogeneration. Setelah tahun 1960-an cogeneration semakin berkembang, dan saat ini perkembangannya semakin pesat terutama yang menggunakan gas turbine karena dewasa ini performance dan keekonomiannya semakin baik." Menurut Dr. Ir. Ashwin Sasongko dan Ir. Joko Santosa, M.Sc, pada umumnya teknologi cogeneration sudah banyak diterapkan di beberapa industri. Dari survei yang telah dilakukan BPPT industri-industri tersebut adalah industri pupuk seperti Iskandar Muda dan PUSRI, pabrik gula seperti Madu Baru, Gula Madu dan Gula Putih Mataram, industri kertas yaitu Kertas Kraft Aceh dan Tjiwi Kimia, industri kayu, dan industri-industri lainnya. Total kapasitas terpasang cogeneration pada tahun 1997 adalah 2.953 MW dan energi yang dibangkitkan sebesar 10.676 GWh (Pape, 1999). Konfigurasi dari sistem cogeneration yang digunakan sebagian besar adalah turbin gas siklus topping dan turbin uap siklus topping. Namun banyak dari pabrik-pabrik ini hanya menggunakan strategi pemenuhan kebutuhan listrik. Jadi seluruh produksi listrik digunakan untuk proses industri, tidak ada kelebihan produksi listrik yang dijual ke PLN. Jika dalam strategi ini produksi uapnya lebih rendah dari kebutuhan uap yang diperlukan, maka suplai uap tambahan disediakan oleh auxilliary boiler. Hal ini akan menyebabkan penggunaan cogeneration dengan kapasitas yang lebih rendah dan mengurangi peluang penghematan energi yang lebih besar. Ir. Herman Darnel, M.Sc menyatakan bahwa beberapa industri telah menerapkan cogeneration dan telah memperoleh manfaat dari tingginya efisiensi. Namun pelaksanaannya masih terbatas karena belum memasyarakatnya teknologi ini dan barangkali juga karena belum efektifnya pengaturan. Sekarang ini adalah saat yang baik untuk lebih memperhatikan pengembangan cogeneration, terutama mengingat rencana pengurangan atau penghapusan subsidi terhadap bahan bakar dan listrik. Penggunaan cogeneration menjadi penting terutama berkaitan dengan ke-ekonomi-an bagi konsumen secara lokal, ataupun bagi pemenuhan kebutuhan energi secara global. Penggunaan cogeneration menjadi menarik, karena merupakan solusi untuk lebih mengefisienkan penggunaan bahan bakar sebagai energi primer. Perbandingan efisiensi penggunaan bahan bakar antara power generation (35%) dengan cogeneration (84%). Prospek di Masa DepanMenurut Dirjen IKAH, di negara-negara industri saat ini penerapan sistem cogeneration telah dilakukan secara terintegrasi dengan kapasitas yang besar dan menggunakan bahan bakar dapat berupa limbah pertanian, industri dan rumah tangga dan/atau bahan bakar minyak terutama pada daerah-daerah terpencil, sehingga sistem co-generation tersebut merupakan suatu instalasi pembangkit listrik tambahan yang dapat membantu kebutuhan listrik dan panas pada daerah setempat baik untuk kepentingan industri maupun masyarakat. Penerapan tersebut dapat dilakukan di Indonesia terutama pada beberapa zona industri di wilayah-wilayah terpencil di luar Pulau Jawa oleh masing-masing pemerintah daerah, sehingga instalasi tersebut tidak perlu diadakan oleh masing-masing industri di suatu wilayah karena akan menghasilkan efisiensi dibidang investasi, pengadaan bahan bakar dan pemanfaatan jenis bahan bakar yang murah. Sistem co-generation tersebut ini juga terkait dengan sistem pengolahan limbah cair dan padat di suatu wilayah yang berasal dari limbah industri dan rumah tangga.Limbah cair diolah secara anaerobic (tanpa udara/oksigen) dengan bantuan suatu mikroorganisme akan menghasilkan gas metana yang dapat digunakan sebagai tambahan bahan bakar sistem cogeneration tersebut. Sedangkan limbah padat digunakan sebagai tambahan bahan bakar pada boiler dimana proses pembakarannya dilakukan pada incenerator dengan nilai konversi 1 ton limbah padat setara dengan 0,15-0,24 ton bahan bakar. Sedangkan Dr. Ashwin Sasongko dan Ir. Joko Santosa, M.Sc mencatat bahwa sejalan dengan laju pembangunan, diharapkan industri di Indonesia akan terus berkembang khususnya industri-industri yang berpotensi untuk memanfaatkan teknologi cogeneration. Kriteria utama apakah suatu industri mempunyai peluang untuk menggunakan cogeneration adalah besarnya konsumsi termal dalam industri tersebut, khususnya konsumsi uap. Dari studi energi Markal, kelompok industri tersebut adalah industri makanan, minuman, gula, tekstil, kayu, kertas, karet, plastik, kulit, kimia, pupuk, dan semen. Ir. Firdaus Akmal dan Ir. Ali Herman menambahkan, hal-hal yang potensial berpengaruh pada perkembangan cogeneration di Indonesia di masa yang akan datang adalah permintaan pasar, perkembangan teknologi cogeneration, restrukturisasi sektor ketenagalistrikan , restrukturisasi di bidang energi primer, kebijakan tentang lingkungan serta Kebijaksanaan Umum Bidang Energi (KUBE). Cogeneration dengan kapasitas 3 MWe sampai 20 MWe telah dibuktikan ( di Eropa ) mempunyai keunggulan yang kompetitif, siap dan akan cepat memasuki pasar. Akhir triwulan I 1999, Cogen Europe memperkenalkan apa yang disebut Micro Cogeneration dengan kapasitas sampai dengan 20 kWe yang diperkirakan akan dipasarkan mulai tahun 2001. Beberapa faktor yang akan berpengaruh dalam pengembangan cogeneration, menurut Ir. Herman Darnel, M.Sc, adalah adanya tekanan kompetisi global untuk efisien, rencana pengurangan atau penghapusan subsidi BBM, rencana pengembangan distribusi dan kebijakan harga gas, dan tersedianya teknologi cogeneration yang kompetitif. (rus)
|
|||