|
Tahun III, Nomor 18, Februari
2002
|
|||
Linux, Sepakbola dan Piala Dunia 2002 |
||||
Home
Halaman Muka Setup Printer dengan Driver CUPS
|
Jika anda mengharapkan tulisan yang sangat teknis
dari saya kali ini, saya harap anda akan kecewa :-D. Tulisan ini terus
terang adalah tulisan nyeleneh dan saya memang sedang tidak ingin membahas
aspek yang SANGAT teknis dari Linux. Ide untuk membuat tulisan ini muncul
saat saya sedang menonton pembagian grup Piala Dunia 2002 di Jepang dan
Korea, dan juga ketika Anastacia membawakan lagu tema Piala Dunia 2002:
'Boom.'
Mungkin ada beberapa di antara pembaca INFOLINUX yang pernah membaca tulisan saya tentang Jazz dan Linux (http://gedung.8m.com/warnawarni/160401/zen-art1.htm), yang merupakan situs komunitas sepakbola dan olahraga saya. Nah, seperti itu pula tulisan saya kali ini. Saya akan mengajak anda para pembaca untuk melihat perbandingan antara Linux dan Piala Dunia 2002, perhelatan terbesar mahluk planet bumi di awal milenium baru ini. Sejumlah 32 negara telah bersaing sangat ketat untuk mencapai putaran final Piala Dunia pertama di milenium ketiga dan abad ke-21 ini. Banyak negara yang memiliki tradisi sepakbola kuat harus berjuang sampai limit terakhir sebelum bisa memenuhi syarat untuk berlaga di Korea-Jepang. Sebagian malah harus rela jadi penonton seperti 'macan kertas' Belanda. Untungnya kita mulai Juni nanti masih bisa menyaksikan Ronaldo yang sudah sembuh dari cedera dan gocekan asyik Denilson di tim Brasil; Tango si Batistuta, Veron dan Martin Palermo dari Argentina, kecepatan Michael Owen dan passing akurat David Beckham di tim Inggris, Kehebatan Zinedine 'Zizou' Zidane, ketajaman Thiery Henry dan David Trezeguet di tim ayam jantan Perancis; kerasnya Gaizka Mendieta, Raul Gonzales dan Fernando Morientes di Spanyol; kelicikan Filippo Inzaghi dan Christian Vieri di tim Italia; ngototnya Hakan Sukur, Umit, Okan Buruk dan Arif Erden dari Turki; Semangatnya Hidetoshi Nakata dan Junichi Inamoto di Jepang; juga ketangguhan Oliver Kahn di bawah tiang gawang tim yang selalu jadi favorit saya sejak saya berumur 6 tahun: DEUTSCHLAND alias Jerman. Nah, apa hubungannya dengan Linux? Mari kita lihat orang-orang yang terlibat aktif di komunitas Open Source, baik di dunia maupun Indonesia. Mereka tidak bernaung di bawah bendera perusahaan atau institusi yang sama, di VA-Linux ada Jeremy Allison; kemudian Donald Becker selain di NASA juga bikin perusahaan sendiri, Cyclades; Alan Cox dan Bob Young ngumpul di RedHat; Dirk Hohndel lagi bengong di SuSE; Linuxcare jadi tempat nongkrongnya pionir Samba, Andrew Tridgell; Olaf Kirch di Caldera; Alessandro Rubini di Linux Journal; Laurence Culhane masih repot ngurusin siaran radio BBC London; Patrick Volkerding tetap setia ngurusin Slackware; dan Linus Torvalds sendiri malah ngutak-atik prosesor di Transmeta. Di Indonesia?
Kalau kita lihat nama-nama pemain sepakbola di atas, serta nama-nama orang yang terlibat dalam gerakan Open Source di dunia maupun di Indonesia sudah lihat ada persamaannya? Kendati para pemain seperti Ronaldo, Michael Owen, Hakan Sukur dan lainnya bertarung mati-matian untuk membela negara mereka masing-masing, ada satu kesamaan semangat yang menyebabkan mereka masih setia dengan sepakbola dan menjadikannya sebagai mata pencaharian: Kecintaan mereka pada sepakbola. Begitu pula kenapa Linux masih tetap ada di Indonesia dan seluruh dunia, padahal orang-orangnya terbilang sangat sibuk, adalah karena kecintaan kita semua terhadap Linux. Makanya orang-orang lama seperti Pele di sepakbola atau Richard Stallman di Linux masih tetap setia dengan bidangnya, yang satu dengan sepakbola sedang satu lagi dengan Free Software Foundation dan GNU-nya. Kenapa Linux masih tetap ada sampai sekarang sementara OS lain yang lebih dulu menjalani track-nya Linux malah stagnan seperti FreeBSD? Sekali lagi karena kekuatan komunitas Linux yang sangat luar biasa. Padahal Kai Makisara, salah seorang yang terlibat dalam pengembangan Linux mengatakan bahwa ancaman terbesar bagi Linux adalah jika komunitasnya menghilang. Saudara setanah air Linus Torvalds ini mengatakan hal ini pada Juni 2000. Tapi ternyata terbukti komunitas Linux malah makin berkembang pesat. Komunitas inilah yang menjadi kekuatan terbesar Linux dan merupakan sebuah tempat kolaborasi yang sangat raksasa. Kenapa saya bilang raksasa?
Akan tetapi komunitas yang sukarela seperti LUG (Linux User Group) yang saat ini sudah tersebar di seluruh dunia dan di puluhan kota di Indonesia tetap sangat sulit terkalahkan oleh kekuatan apapun. Terutama komunitas dengan kekuatan yang terdiri dari orang-orang yang sangat mencintai apa yang mereka lakukan dalam komunitasnya, seperti komunitas Linux ini. Bagaimana dengan persaingan? Bukankah setiap perusahaan dan tim nasional yang berlaga di Korea-Jepang 2002 saling bersaing? Mari kita telaah lagi. Di La Liga Spanyol, Zizou Zidane, Steve Mc Manaman bersama Raul Gonzales dan Fernando Morientes adalah rekan satu tim di Real Madrid, akan tetapi di Piala Dunia nanti mereka harus bersaing mati-matian membela negara masing-masing. Begitu pula Ronaldo dan Christian Vieri di Inter Milan. Atau coba lihat bagaimana Liverpool-nya Michael Owen bersaing dengan klubnya David Beckham, Manchester United di Liga Premier Inggris, tetapi di Piala Dunia nanti keduanya harus bersatu membela ratu dan Union Jack. Apakah perusahaan-perusahaan Linux tidak saling bersaing, seperti perusahaan distro seperti RedHat, Caldera, Mandrake dan SuSE, atau perusahaan support seperti Linuxcare dengan VA Linux? Mereka tentu saling bersaing. Nah, mengapa dalam persaingan itu tidak menimbulkan permusuhan? Persaingan antar negara kontestan Piala Dunia 2002 dan juga di antara perusahaan Linux dilandasi dengan adanya aturan main yang ditaati oleh para pihak yang bersaing. Peraturan demikian menjadikan persaingan tetap sengit akan tetapi tetap di batas sportivitas. Jadi setiap pemenang dalam persaingan seperti ini harus melakukannya tanpa mencederai lawan. Coba bayangkan jika salah seorang pemain bersikap tidak sportif dan menyebabkan pemain lawan cedera. Maka hukuman yang diterima pemain yang tidak sportif ini di lapangan adalah kartu merah, belum lagi denda dari Federasi Sepakbola. Hukuman paling berat justru hukuman dari kalangan komunitas sepak bola yang akan terus mencemoohnya. Ini pernah terjadi pada pemain Inter dekade 90-an, Nicola Berti. Dalam seluruh pertandingan tandang Inter di Liga Italia, setiap kali Berti memegang bola penonton sontak berteriak mencemoohnya. Kasus yang lebih baru terjadi pada David Beckham, usai Inggris kalah dari Argentina di perdelapan final Piala Dunia 98. Ketika Beckham diusir wasit akibat menendang Ariel Ortega, tabloid the Sun langsung menulis headline "10 lions and 1 idiot" untuk mencela tindakan Beckham dengan sangat sarkastis. Suami Victoria "Spice Girls" ini benar-benar merasakan hukuman yang berat dari publik sepakbola Inggris. Seperti itulah yang akan terjadi jika dalam sebuah komunitas seseorang melakukan perbuatan yang tidak mengindahkan aturan main dalam komunitas. Atau jika orang tersebut menjauh dari komunitas, maka ia tidak akan dianggap sebagai bagian dari komunitas. Siapa pun yang tidak mengindahkan komunitasnya akan mengalami nasib seperti American Football di mata publik sepakbola, alias bola mania. Publik sepakbola tidak menganggap American Football sebagai sepakbola, walaupun ia sangat hiruk pikuk di negara asalnya, Amerika Serikat. Tapi coba tanya ke bola mania di seluruh dunia siapa itu Joe Montana, Emmet Smith atau Troy Aikman, pasti jarang atau malah tidak ada yang kenal. Padahal Joe Montana dan Emmet Smith sangat ngetop di klubnya San Fransisco 49ers, Troy Aikman juga merupakan quarter back andalan Dallas Cowboys. Tapi siapa bola mania yang mau tahu dan peduli perkembangan mereka? Ini karena American Football tidak menjadi bagian dari komunitas sepakbola dunia, mereka membentuk komunitas kecil sendiri, hanya di sebuah negara dan itu pun tidak seluruhnya. Hanya di beberapa kota besar saja. Begitu pula sebuah perusahaan yang menggunakan produk berbasis komunitas harus selalu memberikan kontribusi pada komunitas. Maka adalah aneh jika ada perusahaan Linux yang melupakan aspek komunitas ini, atau malah menjauh dari komunitas. Jika ada perusahaan semacam ini, maka sebetulnya perusahaan ini tinggal menunggu ajalnya saja. Oleh karena kekuatan inovasi dan perkembangan teknologi di Linux dan Open Source berada di tangan komunitas. Akhirnya saya akan membungkus ocehan saya ini dengan kalimat berikut:
Selamat begadang nonton Piala Dunia 2002... Football forever... ZEN el GUAY alias M. ZEN Muttaqien, LCP, LCI
|
|||
Email : jakarta@jakarta.linux.or.id