ELEKTRO INDONESIA Edisi ke Dua, April 1996Sajian Khusus
Iptek pada hakekatnya diperlukan oleh manusia sebagai wahana untuk dapat memenuhi kebutuhan hidupnya. Sejarah telah menunjukkan bahwa kebutuhan manusia tersebut terus berkembang dari waktu ke waktu, bahkan dalam alam globalisasi dewasa ini perkembangnya kebutuhan manusia itu berlangsung dengan sangat cepat dan dinamis. Oleh karena itu perkembangan IPTEK-pun berlangsung dengan sangat cepat dan dinamis.
Dengan demikian, maka pada dasarnya masalah penguasaan IPTEK tidak
terpisahkan dari masalah pembangunan ekonomi, atau dengan perkataan
lain, IPTEK tidak terlepas dari hukum "permintaan-penawaran" atas produk-
produk hasil karya manusia sendiri yang terjadi di pasar.
Catatan : Pasar sebagai tempat pertemuan antara permintaan-penawaran
tersebut.
Terdapat hubungan timbal-balik secara inter-aktif, saling menunjang dan membangun antara permintaan dan penawaran tersebut, dalam arti kata bahwa permintaan dan penawaran tidaklah terjadi secara alamiah semata, tetapi justru pada umumnya karena adanya inisiatif dua arah antara keduanya. Di satu pihak adanya inisiatif permintaan akan memacu penawaran, di lain pihak adanya inisiatif penawaran akan memacu pula terjadinya permintaan. Dinamika, kreativitas dan inovasi hubungan timbal- balik atau "push-pull" inilah yang perlu senantiasa dikembangkan secara berlanjut, dan pada hakekatnya itulah yang merupakan motor penggerak dalam mencapai keberhasilan pembangunan ekonomi masyarakat. Keberlanjutan pembangunan ekonomi pada akhirnya akan menjamin terwujudnya kemajuan (progress) masyarakat, Bangsa dan Negara pada umumnya.
Bangsa yang mampu menyelenggarakan dan mengendalikan keseluruhan proses seperti diuraikan di atas, bukan saja dalam konteks nasional tetapi kini juga dalam konteks regional dan global, dan secara bersaing, pada hakekatnya adalah bangsa yang mandiri dan ungggul. Demikianlah kiranya hal yang memang dicita-citakan oleh Bangsa Indonesia.
Adalah kemampuan IPTEK yang merupakan kunci bagi terwujudnya hubungan timbal-balik semacam itu. Oleh karena itu apabila ingin menjadi bangsa yang mandiri dan unggul, apalagi di tengah-tengah masyarakat dunia yang sangat bersaing dewasa ini, Bangsa Indonesia harus mampu menguasai IPTEK dan mengendalikannya agar senantiasa dapat merupakan wahana dalam melaksanakan pembangunan yang berkelanjutan. Untuk dapat melaksanakan penguasaan IPTEK tersebut, dalam konteks alur-pikir demikian, maka perlu adanya pemahaman bahwa IPTEK berperan dalam keseluruhan proses hubungan timbal-balik tersebut, yang mencakup 3 hal sebagai berikut :
Situasi dan Kondisi
Perkembangan dunia adalah sedemikian rupa sehingga bagaimanapun juga negara-negara industri maju, yang telah memiliki basis teknologi kuat selama berpuluh-puluh tahun, lebih-lebih dalam alam globalisasi dewasa ini, akan lebih berkemampuan dalam menguasai dan mengembangkan IPTEK dibandingkan dengan negara-negara yang sedang berkembang. Lebih-lebih dengan kenyataan bahwa teknologi informasi praktis hampir seluruhnya mereka kuasai. Mau tidak mau, suka tidak suka, negara-negara sedang berkembang akan banyak tergantung dan menjadi pasaran bagi produk- produk IPTEK negara-negara industri yang telah maju tersebut. Pertumbuhan ekonomi negara-negara sedang berkembang yang pesat justru cenderung akan memperbesar ketergantungan mereka di bidang IPTEK kepada negara- negara industri maju.
Namun di lain pihak, tidaklah terlalu buruk keadaannya bagi negara-negara berkembang yang memiliki potensi ekonomi besar, termasuk Indonesia dengan jumlah penduduknya yang besar, kekayaan alam yang cukup, posisi geografis yang strategis dan lain sebagainya. Dalam alam globalisasi di mana negara-negara di dunia hampir semuanya menganut kebijaksanaan ekonomi terbuka yang berorientasi pasar, maka negara-negara berkembang ini memiliki prospek pertumbuhan ekonomi yang tinggi.
Mengingat pertumbuhan ekonomi yang sudah optimal pada tingkat yang jauh lebih rendah, adalah kepentingan negara-negara industri maju untuk menjadikan negara-negara sedang berkembang dengan pertumbuhan ekonominya tinggi sebagai pasar bagi produk-produknya. Dengan demikian negara-negara sedang berkembang berpeluang untuk dapat terus melanjutkan pertumbuhan ekonominya yang tinggi guna melaksanakan pembangunan, justru dengan komitmen negara-negara industri maju sendiri untuk membuka pasarnya lebih lebar bagi produk-produk negara berkembang, sekaligus (terpaksa) melaksanakan alih-teknologi agar negara- negara berkembang makin dapat menguasai IPTEK untuk berkelanjutan pertumbuhan ekonominya, yang kini telah menjadi kepentingan negara- negara industri maju pula. Hubungan antara negara industri maju dengan negara berkembang seperti dahulu pada jaman merkantilisme, di mana negara berkembang hanya diperlukan sebagai pemasok produk-produk primer dan sekaligus sebagai pasar sudah tidak dapat dipertahankan lagi, karena biaya produksi yang terus membubung tinggi di negara-negara industri maju itu sendiri sehingga mereka makin tidak mampu mendukungnya lagi.
Inilah hakekat globalisasi yang melanda dunia semenjak tahun 1980-an, sebagai akibat kemajuan teknologi informasi dan persaingan di antara negara-negara industri maju sendiri yang semakin ketat. Fenomena terpenting globalisasi adalah ketergantungan ekonomi antar negara baik secara bilateral maupun multilateral, yang telah menjadi kebutuhan bagi setiap negara. Kini tidak ada satu negarapun di dunia yang mampu menganut sistem "autarki", atau melaksanakan sendiri kegiatan ekonominya tanpa ada keterkaitan dengan negara lain. Setiap negara akan memerlukan negara atau negara-negara lain sebagai pasarnya dan harus bersedia menjadikan dirinya pula sebagai bagian dari pasar global. Sementara itu setiap negara yang memiliki keunggulan kompetitif juga akan memerlukan dirinya untuk berperan sebagai lokasi industri milik negara tau negara-negara lain dalam upaya mendekatkan diri dengan pasar agar tetap mampu bersaing. Seperti dapat dilihat dewasa ini "relokasi industri", terutama industri-industri yang menggunakan teknologi rendah sampai dengan madya, sudah merupakan kejadian biasa.
Dampak globalisasi akan bersifat positif bagi negara-negara sedang berkembang dalam arti kata pertumbuhan ekonominya akan dapat dipacu, dan apabila dapat memanfaatkan berbagai peluang yang ada, khususnya dalam penguasaan IPTEK, maka negara berkembang tersebut dapat meraih nilai-tambah yang besar untuk mentransformasikan dirinya menjadi negara industri baru serta berada dalam posisi segera mengejar ketertinggalannya dari negara-negara industri maju. Sementara negara berkembang yang tidak dapat memanfaatkannya untuk penguasaan IPTEK, maka negara tersebut akan menjadi pasar saja bagi negara-negara industri maju yang akan menikmati seluruh nilai-tambahnya, dan secara bertahap akan kehilangan jatidirinya sebagai bangsa dan negara.
Inilah tantangan yang dihadapai negara-negara sedang berkembang, termasuk Indonesia. Pada hakekatnya dalam alam globalisasi nanti semua bangsa dan negara harus bersaing dalam menyelenggarakan dan mengendalikan proses permintaan dan penawaran tersebut.
Bagi Indonesia tantangan yang dihadapi adalah sungguh berat, yaitu bukan saja harus mampu bersaing di pasar global tetapi juga nantinya, dalam waktu tidak terlalu lama lagi (sesuai kesepakatan GATT/WTO, AFTA, APEC), di pasar dalam negeripun harus mampu bersaing, karena Indonesia sebagai bagian dari pasar global tidak dapat lagi menghalang-halangi masuknya produk-produk negara lain, termasuk produk-produk negara berkembang pesaing Indonesia. Hal ini menuntut adanya sentra-sentra produksi di Indonesia yang benar-benar efisien dan makin dalam strukturnya sehingga membentuk basis teknologi yang makin kokoh.
Jelas bahwa agar Kepentingan Nasional dan Jati-Diri bangsa Indonesia dapat ditegakkan , maka kendali atas keseluruhan proses ini harus berada di tangan Bangsa Indonesia, meskipun dalam menembus pasar dan dalam membuat serta mendistribusikan produk-produk akan terlibat pihak asing.
Kunci untuk mampu memegang kendali ini tidak lain adalah Penguasaan IPTEK dalan seluruh mata rantai kegiatan industri dan perdagangan (INDAG) yang mencakup kemampuan menerapkan dan mengembangkan IPTEK dalam ketiga aspek hukum permintaan-penawaran (pasar) tersebut yaitu :
Penguasaan IPTEK oleh Bangsa Indonesia (suatu Pandangan)
Penguasaan IPTEK bukanlah suatu hal yang mudah dan dapat dengan cepat dicapai. Upaya menguasai suatu IPTEK oleh Bangsa Indonesia merupakan suatu proses transformasi budaya bangsa dari kehidupan masyarakat yang bersifat agraris menjadi masyarakat industri. Sejarah telah menunjukkan bahwa diperlukan waktu satu atau beberapa generasi untuk dapat menyelenggarakan trasformasi budaya demikian. Lebih-lebih dengan Indonesia yang terdiri atas masyarakat yang sangat majemuk yang mendiami daerah kepulauan sangat luas terdiri atas kurang lebih 17.000 pulau, masalah transformasi budaya ini benar-benar sangat kompleks.
Apapun alasannya, dalam memasuki abab-XXI yang ditandai dengan sistem perekonomian global di mana perdagangan industri dan investasi akan dilakukan secara makin bebas tanpa mengenal batas negara lagi, maka apabila tidak ingin kehilangan Kepentingan Nasional dan Jati-Dirinya Bangsa Indonesia harus segera mampu menguasai IPTEK, paling tidak pada tingkat yang dihormati di dunia internasional.
Sikap dasar. Untuk melakukan upaya menguasai IPTEK menuju abab XXI tersebut perlu adanya sikap dasar sebagai berikut :
Evaluasi terhadap upaya penguasaan IPTEK selama ini. Upaya menguasai IPTEK di Indonesia selama ini dapat diamati sebagai berikut :
Strategi dan langkah-langkah yang perlu diambil.
Dengan memperhatikan
situasi-kondisi yang dihadapi, sikap dasar dan evaluasi atas upaya
penguasaan IPTEK selama ini seperti yang telah diuraikan di atas, maka
selanjutnya dianggap perlu mengambil strategi dan langkah-langkah sebagai
berikut :
a. Teknologi Produksi
Bersamaan dengan pengembangan teknologi produksi, pada saat ini telah dirasakan mendesak sekali bahwa pembinaan kemampuan teknologi pemasaran harus dilakukan dengan sungguh-sungguh. Sasaran pembinaan di sini adalah para konsumen, dan para produsen sendiri yang mampu menempatkan dirinya sebagai konsumen. Pembinaan teknologi pemasaran mencakup :
Jaringan distribusi sebagai penghubung antara produsen, pasar dan konsumen mempunyai nilai yang amat strategis dalam sistem perekonomian suatu negara. Oleh karena itu Indonesia harus dapat menguasai jaringan ini. Dalam alam perdagangan dan investasi bebas nanti penguasaan jaringan ini tidak dapat lagi dengan leluasa diproteksi melalui peraturan-peraturan Pemerintah. Mau tidak mau penguasaan sistem dan teknologi distribusilah yang akan berbicara. Teknologi distribusi mencakup antara lain :
Pendekatan "demand side technology" di samping menyesuaikan "supply side technology" yang sudah ada dapat mensinergikan pertumbuhan industri jasa dan industri barang, dan dapat merupakan terobosan strategis dalam memecahkan kemandegan atau "stagnasi" upaya penguasaan IPTEK serta pembentukan basis teknologi selama ini, karena dengan segala keterbatasan yang melekat pada Bangsa Indonesia di bidang PTEK, justru dengan pendekatan ini diberikan kemungkinan-kemungkinan yang lebih besar untuk berhasil. Hal ini karena di sini diambil pendekatan proses belajar melalui pemanfaatan IPTEK yang disediakan oleh negara-negara industri maju itu sendiri, di mana meskipun sebagai suatu negara yang baru memulai proses indusrialisasinya namun dalam "demand side technology" ini Indonesia dapat langsung berkiprah pada tingkat teknologi yang canggih.
"Demand side technology" yang dimulai dengan mengutamakan aspek pemanfaatan teknologi dan pemeliharaan produk-produk serta pemberian pelayanan terbaik pada konsumen (pengguna) akan berdampak positif bagi percepatan upaya pencerdasan bangsa dan disiplin nasional, di samping lebih mengarahkan atau "zero-in" upaya-upaya membentuk basis teknologi agar selanjutnya dapat berkiprah lebih jauh pada tahap penguasaan IPTEK yang bersaing di arena global.
Tulisan ini membahas mengenai hal-hal penting dari pendidikan sarjana
teknik tenaga listrik di
salah satu perguruan tinggi negeri (FTUI).
Penggunaaan energi listrik untuk industri yang telah mencapai lebih
dari 50 % saat ini dan jumlah
desa yang baru 55 % dilistriki akan membutuhkan SDM berkualitas dalam
jumlah yang besar yang selain memiliki pengetahuan di bidang kelistrikan
juga harus memiliki pengetahuan-pengetahuan lainnya di luar bidang
kelistrikan.
Profil sarjana tenaga listrik yang baru lulus dan pengembangan pengetahuan
bagi sarjana yangtelah bekerja di bidang kelistrikan, yang diperlukan
masyarakat listrik Indonesia akan dibicarakan
di sini. Minat dan jumlah lulusan sarjana teknik tenaga listrik yang
menurun dan upaya-upaya yang dapat dilakukan untuk mengatasinya juga
akan dibahas.
Selain itu juga dibahas mengenai konsep Kurikulum Nasional yang akan
diterapkan yang dengan sendirinya akan berpengaruh terhadap hal-hal yang
disebutkan di atas.
Di FTUI rata-rata hanya kurang lebih 20 mahasiswa atau 15 % dari sekitar 130 mahasiswa yang diterima di empat program studi jurusan elektro yang setiap tahunnya memilih bidang tekniktenaga listrik. Dengan 4 program studi (kurikulum 1991) yaitu program studi telekomunikasi,kontrol, komputer dan teknik tenaga listrik dan saat ini sepertiga staf pengajar jurusan elektroadalah di bidang teknik tenaga listrik, prosentasenya seharusnya paling tidak 25 %. Kurangnya pengetahuan mahasiswa tentang bidang pekerjaan sarjana teknik tenaga listrik di dalam industri ketenagalistrikan dapat menjadi salah satu penyebabnya. Selain itu kurikulum dan sylabus bidang teknik tenaga listrik yang selama ini dijalankan di perguruan tinggi yang mempunyai program studi ini, perlu ditinjau lagi secara lebih mendalam. Kalau perlu, perubahan-perubahan yang mendasar harus dilakukan agar dapat memenuhi kebutuhuan masyarakat listrik Indonesia di masa yang akan datang. Karena di satu pihak merupakan bagian dari Kurikulum Nasional yang lebih bersifat umum, padahal di lain pihak merupakan suatu bidang kekhususan, tempatnya di dalam Kurikulum Nasional harus jelas.
Kurikulum Bidang Teknik Tenaga listrik
Pendidikan sarjana elektro di FTUI pada kurikulum 1991 dilaksanakan dalam 10 semester dengan tiap semesternya terdiri dari 15 sampai 18 S.K.S. (Sistem Kredit Semester) dan keseluruhannya berjumlah 160 S.K.S. Semester 10 yang merupakan semester terakhir,digunakan untuk penyusunan tugas akhir (skripsi) dengan bobot 6 S.K.S. Satu S.K.S. berupa 1 jam kuliah, 1 jam kegiatan akademik mandiri yang dilaksanakan selama 1 semester penuh dan umumnya terdiri dari antara 14 sampai 16 kali kuliah. Seorang mahasiswa yang rata-rata menyelesaikan 16 S.K.S. setiap semesternya akan dapat menyelesaikan pendidikan sarjana elektronya dalam waktu 5 tahun.Mahasiswa yang berbakat akan dapat menyelesaikannya dalamwaktu 4 sampai 4,5 tahun, sedangkan yang tidak berbakat membutuhkan waktu antara 5,5 sampai 7,5 tahun untuk menyelesaikan pendidikannya. Waktu 7,5 tahun atau 15 semester merupakan batas waktu studi seorang mahasiswa.
Mata Kuliah | Kurikulum 1996 | Kurikulum 1991 | ||
---|---|---|---|---|
(144 S.K.S.) | (160 S.K.S.) | |||
S.K.S. | % | S.K.S. | % | |
Mata Kuliah Umum | 14 | 9,7 | 16 | 10,0 |
Mata Kuliah Dasar Keahlian (M.K.D.K.) | 77 | 53,5 | 90 | 56,3 |
Mata Kuliah Keahlian (M.K.K.) | 53 | 36,8 | 54 | 33,7 |
Total | 144 | 100,0 | 160 | 100,0 |
Dengan akan dilaksanakannya kurikulum yang berlaku secara nasional, pendidikan sarjanaelektro akan dapat diselesaikan dalam waktu 4 tahun atau 8 semester dengan jumlah 144 S.K.S. Bagi seorang mahasiswa yang berbakat pendidikan ini akan dapat diselesaikan dalam waktusekitar 3,5 tahun.
Pendidikan sarjana elektro dapat dibagi menjadi kegiatan akademik:
Kebutuhan akan Sarjana Teknik Tenaga Listrik
Selama 5 tahun Pelita VI ini kebutuhan total sarjana teknik tenaga listrik di bidang-bidang rancang bangun, industri, kontrakting dan operasi & pemeliharaan tidak kurang dari 3567 orang atau sekitar 713 orang tiap tahunnya. 2)
Kebutuhan dalam Bidang : | Pelita VI | Kebutuhan pertahun daalm Pelita VI |
---|---|---|
Rancang Bangun | 634 | 127 |
Industri | 580 | 116 |
Kontrakting | 1202 | 240 |
Operasi & Pemeliharaan | 1151 | 230 |
Total | 3567 | 713 |
Dari Tabel 2 dapat dilihat bahwa dalam Pelita VI ini bidang kontrakting dan bidang operasi & pemeliharaan masing-masing membutuhkan sarjana teknik tenaga listrik sekitar dua kali lebih besar dibandingkan bidang rancang bangun dan bidang industri.Hal ini menunjukkan bahwa dalam Pelita VI operasi, pemeliharaan dan pembangunan sarana pelistrikan akan lebih banyak dilakukan daripada kegiatan-kegiatan rancang bangun dan industri.
Angka kebutuhan sarjana teknik tenaga listrik sebesar 3567 orang dalam 5 tahun amat besar bila dibandingkan dengan kemampuan perguruan tinggi negeri dan swasta yang mempunyai program studi teknik tenaga listrik untuk memenuhinya.
Tahun | 1990 | 1991 | 1992 | 1993 | 1994 | Total |
---|---|---|---|---|---|---|
F.T.U.I. | 18 | 26 | 26 | 21 | 16 | 107 |
I.T.B. | 31 | 31 | 21 | 17 | 12+ | 98 |
Karena kenyataan semacam inilah maka PLN sebagai salah satu instansi pengguna sarjana teknik tenaga listrik yang besar, mulai tahun 1994 berusaha mendidik sendiri sarjana setingkat S1-nya. Barangkali hal ini dapat membantu mengatasi persoalan tersebut di atas. Namun dengan kegiatan baik rutin maupun pembangunan di bidang kelistrikan dengan volume pada Pelita VI sama dengan yang telah dicapai selama 25 tahun PJPT I, pendidikan sendiri sarjana yang dibutuhkannya akan merupakan beban tambahan bagi PLN.
Pendidikan merupakan suatu kegiatan jangka panjang yang hasilnya belum tentu dapat diperoleh dalam waktu yang dekat.
Karena kelangkaan sarjana teknik tenaga listrik ini para praktisi dan pelaku bisnis ketenagalistrikan sampai merasa perlu untuk terjun langsung mencarinya ke kampus-kampus. Padahal para lulusan teknik tenaga listrik ada juga yang akhirnya tidak bekerja di bidangnya. Ini sudah barang tentu patut disayangkan, karena dapat saja terjadi bahwa pelaku bisnis ketenagalistrikan karena tidak bisa memperoleh tenaga yang dibutuhkannya, akhirnya menggunakan sarjana teknik tenaga listrik asing yang seharusnya cuma boleh digunakan untuk pekerjaan kelistrikan yang bersifat khusus, berteknologi tinggi dan belum dikuasai.
Dengan adanya kondisi-kondisi demikian, semua potensi sumber daya manusia dan fasilitas di bidang ketenagalistrikan baik di bidang pendidikan maupun di bidang-bidang yang praktis perlu bekerjasama dan berkoordinasi agar kebutuhan akan sarjana teknik tenaga listrik dapat terpenuhi dan target pembangunan nasional dapat tercapai.
Upaya-upaya untuk meningkatkan minat dan mengatasi kelangkaan sarjana teknik tenaga listrik.
Dengan diterapkannya kurikulum nasional 144 S.K.S., maka waktu pendidikan seorang sarjana yang tadinya 5 tahun akan dapat dipersingkat menjadi 4 tahun, sehingga minat dan jumlah lulusan akan dapat ditingkatkan, tentunya tanpa harus mengorbankan kualitasnya.
Dengan melihat komposisi dari kurikulum yang dua pertiganya terdiri-dari mata kuliah dasar dan umum dan sepertiganya mata kuliah keahlian, kurikulum dapat dibuat lebih fleksibel dan lebih"link and match" dengan bisnis ketenagalistrikan. Pada tiap mata kuliah keahlian yang diberikan dapat dimasukkan modul-modul yang mengarah pada hal-hal praktis di lapangan. Modul-modul ini diberikan oleh para praktisi maupun para pelaku bisnis di bidang ketenagalistrikan yang dapat berasal dari PLN, dunia industri, kontrakting, consulting d.s.b. Sebagai contoh beberapa modul pada mata kuliah Elektronika Daya dapat diberikan oleh praktisi pembuat Uninterruptible Power Supplies atau Electric Drives, beberapa modul mata kuliah Analisis Sistem Tenaga Listrik diberikan oleh pengajar dari PLN, beberapa modul mata kuliah Pembangkitan Tenaga Listrik, diberikan oleh kontraktor pembangunan power plant, d.s.b. Modul-modul yang berupa topik-topik khusus ini, yang menyangkut disain, rancang bangun atau operasi pemeliharaan suatu peralatan listrik, dapat berupa seminar, presentasi yang diberikan para praktisi, setiap kalinya dapat diubah dan disesuaikan dengan kebutuhan dan trend yang ada pada suatu waktu tertentu. Bila didokumentasikan dengan baik, akumulasi dari pengetahuan-pengetahuan dan studi-studi kasus yang diberikan pada modul-modul tersebut akan sangat bermanfaat bukan berupa factory visits, diskusi-diskusi di industri, magang sementara atau kegiatan-kegiatan lain yang dilakukan di luar bangku kuliah, yang laporannya dapat menjadi tugas atau dipresentasikan di dalam suatu seminar kecil.
Kegiatan akademis yang lain, seperti kerja praktek dapat dilaksanakan pula dengan mudah di tempat-tempat para praktisi atau pelaku bisnis ketenagalistrikan tertentu dengan diawasi secara langsung oleh mereka dan staf pengajar yang mata kuliahnya berkaitan dengan bisnis ketenagalistrikan tersebut. Dengan demikian seusai melaksanakan pendidikannya seorang sarjana baru dapat langsung "siap pakai" bukan sekedar "siap latih" di bisnis-bisnis ketenagalistrikan yang telah dikenalnya sebelumnya. Karena itu jumlah mata kuliah keahlian tidak perlu banyak, S.K.S.-nya besar, dan sylabusnya disempurnakan, misalnya dengan duapertiganya merupakan modul-modul tetap yang bersifat umum dan mendasar, dan sisanya yang sepertiga lagi modul-modul tidak tetap yang diubah-ubah sesuai kebutuhan. Pada akhirnya perlu ada pengelompokan dan spesialisasi staf pengajar, para praktisi dan pelaku bisnis (peers group) yang bertanggung jawab atas kemajuan suatu bidang tertentu. Pengelompokan semacam ini tidak dapat dihindarkan bila profesionalisme ingin ditingkatkan untuk mendapatkan hasil yang lebih baik. Dengan adanya kondisi semacam ini, maka instansi-instansi seperti PLN dapat menggunakan staf dan fasilitas yang dimilikinya, untuk menyebarkan keahlian dan pengalamannya di bidang-bidang yang dikuasainya ke perguruan-perguruan tinggi. Hal ini sebenarnya telah dilakukan PLN selama ini, maka hanya saja belum terkoordinir dengan baik. Sebaliknya perguruan-perguruan tinggi dapat membantu pendidikan sarjana setingkat D3 atau S1 yang diselenggarakan PLN, dengan staf pengajar dan fasilitas yang dimilikinya baik pada mata kuliah mata kuliah umum dan dasar, maupun pada mata kuliah-mata kuliah keahlian "non PLN" lainnya. Pada beberapa mata kuliah dasar, seperti Dasar Tenaga Listrik, Dasar Sistem Energi, d.s.b dapat pula dimasukkan sistem modul-modul seperti pada mata kuliah keahlian, sehingga pengenalan mahasiswa akan dunia luar juga dapat dilakukan lebih dini.
Untuk pendidikan lanjut di dalam negeri seperti S2 (magister) dan S3 (doktor) pola pendidikan seperti disebutkan di atas tetap dapat dilaksanakan dengan spesialisasi yang lebih tajam dan bobot penelitian yang lebih besar dibandingkan pendidikan pada tingkat S1. Pengiriman para sarjana kita ke luar negeri untuk pendidikan lanjutnya tetap harus dilaksanakan sebanyak- banyaknya, namun dengan dana yang umumnya terbatas untuk melaksanakan hal itu alternatif seperti yang disebutkan di atas patut dipertimbangkan.