Jakarta - Seluruh operator seluler yang tergabung dalam Asosiasi Telekomunikasi Seluler Indonesia (ATSI) dalam setahun bisa menghabiskan pasokan bahan bakar minyak (BBM) jenis solar industri sebanyak 70 juta liter.
Solar sebanyak itu dihabiskan untuk mengoperasikan puluhan ribu infrastruktur Base Transceiver Station (BTS) yang melayani 180 juta pelanggan telekomunikasi di Indonesia.
"70 juta liter itu konsumsi tahun lalu. Tahun ini pasti bertambah seiring penambahan BTS dan jumlah pelanggan," kata Sekjen ATSI Dian Siswarini kepada detikINET, Rabu (18/8/2010).
Pasokan BBM untuk operator didapat dari Pertamina atau distributornya. Harga per liternya berkisar Rp 7.000 hingga Rp 11.000 tergantung lokasi BTS.
Direktur Pemasaran dan Niaga Pertamina Djaelani Sutomo mengungkapkan, pada tahun lalu operator seluler membeli tiga juta liter solar ke Pertamina.
"Tahun ini saya rasa ada peningkatan karena ada kerjasama antara ATSI dengan Pertamina dalam pembelian BBM industri. Kami tidak memberikan batasan dalam volume pembelian, sedangkan masalah harga tergantung negosiasi," ungkapnya.
Berdasarkan catatan, saat ini pelanggan telekomunikasi seluler di Indonesia telah berjumlah 180 juta nomor. Sedangkan pada 2010 diharapkan ada 40 juta nomor baru.
Operator seluler XL Axiata dalam setahun bisa menghabiskan bahan bakar solar industri sebanyak 17 juta liter untuk mengoperasikan lebih dari 20 ribu unit BTS yang dimilikinya dengan biaya Rp 120 miliar per tahun.
Selain XL yang melayani 32,6 juta pelanggan dengan 20 ribu BTS, Telkomsel juga melayani 88,3 juta pelanggannya dengan 34 ribu BTS. Sementara Indosat yang baru saja merevisi 1,4 juta pelanggannya menjadi 37,7 juta punya infrastruktur 18 ribu BTS.
Sedangkan operator lain yang tergabung dengan ATSI adalah Mobile-8 Telecom (4.000 BTS), Smart Telecom (3.500 BTS), Natrindo Telepon Seluler/Axis (6.000 BTS), Hutchison CP Telecom/Tri (6.000 BTS).
Ketua Umum ATSI Sarwoto Atmosutarno mengakui, adanya kerjasama langsung dengan Pertamina membuat operator mendapatkan harga BBM lebih kompetitif.
"Kalau kami beli dengan agen itu bisa lebih mahal 30 persen ketimbang langsung dengan Pertamina. Padahal, kondisi di lapangan, 40% BTS operator sangat tergantung BBM untuk operasional, sisanya mengandalkan listrik dari PLN (Perusahaan Listrik Negara)," jelasnya.
Sarwoto mengungkapkan, penggunaan energi secara campuran antara listrik dan BBM menjadi pemicu biaya per BTS per energi di Indonesia salah satu yang paling tinggi di Asia Pasifik.
"Di Telkomsel saja biaya energi untuk menjalankan BTS itu menyerap 22% biaya operasional untuk pemeliharaan. Telkomsel memiliki 5 ribu genset yang digunakan secara mobile untuk mengoperasikan BTS kala supply listrik kurang," ungkapnya.
Sarwoto mengharapkan, PLN mampu mewujudkan janjinya untuk menjamin ketersediaan listrik bagi industri terutama di wilayah Jawa. "Industri itu lebih senang membayar listrik ketimbang BBM. Listrik lebih hemat biaya," tegasnya.
|